Mari Rawat Luka-luka Itu Tetap Menganga...

Sedih...sesedih-sedihnya melihat perseteruan yang seperti tak ada habis-habisnya. Selalu ada saja yang bisa diributkan. Belum sepenuhnya kelar sebuah masalah eh susulan dari masalah itu sudah muncul, sudah menunggu. Dan kalau begini terus keadaannya, maka yang senang sudah pasti para demagog itu. Menunggu kesempatan yang tepat untuk beraksi secara nyata.

Pemerintahan yang sedang berjalan yang terus terusik oleh berbagai permasalahan itu lambat laun bisa memunculkan anggapan ketidak mampuan dalam menjalankan amanah (kekuasaan) nya. Delegitimasi.

Pak Jokowi sedang dihadapkan pada pilihan sulit terkait dengan kasus penistaan agama. Melakukan sesuatu ataupun tidak terkait dengan kasus hukum ini juga serba salah.

Lihat saja tudingan-tudingan para pengguna medsos atau bahkan para orang yang dianggap besar di negeri ini karena punya banyak pengikut. Proses hukum yang sedang berjalanpun tak luput dari tudingan adanya campur tangan RI-1. Pak Jokowi dianggap bahkan dituduh melindungi "sang penista" yang kalau diminta menunjukkan bukti kongkrit bisa saja akan kesulitan. Apakah duga-menduga dan opini sudah naik kelas menjadi sebuah "barang" bukti?
Hingga bisa kita saksikan gerakan dukungan, demikian sebagian orang menyebutnya untuk aksi berjilid selain nama aksi bela Islam, yang begitu besar terhadap lembaga peradilan untuk berani memutus perkara, supaya tidak gentar terhadap tekanan dan intervensi pemerintah.

Teriakan untuk penguatan lembaga peradilan dan peringatan pada pemerintah untuk tidak intervensi sebenarnya, entah disadari atau tidak, sudah merupakan bentuk intervensi itu sendiri. Bagaimana tidak? Berjuta orang yang berpartisipadi pada demo berseri angka cantik yang lalu ditingkah dengan orasinya itu, apakah tidak memberikan efek rasa gentar, rasa takut terhadap lembaga dan rasa khawatir pemerintah terhadap situasi tak terkendali?

Saya kira efek itu ada. Lihat saja dengan penangguhan bacaan tuntutan yang menunggu hingga selesainya pilkada. Kekhawatiran akan ada kericuhan itu tergambar. Lalu vonis penjara 2 tahun yang telah dijatuhkan tempo hari itu. Rasa-rasanya tidak aneh jika kita menduga ada unsur lain yang terlibat dalam proses keputusannya, semisal supaya para penuntut itu ada semacam kepuasan batin. Apakah yang demikian ini bisa dibenarkan? Saya juga tidak benar-benar mengerti, namun jika pertimbangannya demi keamanan nasional? Ah biarlah ahli hukum saja yang menilai.

Apakah lantas adem? Ternyata belum. Saat ini wacana digulirkan agar Pak Jokowi berani ambil sikap sebagai presiden untuk menyelamatkan pak Ahok dari jeratan hukum, dari ketidak adilan hukum yang telah terjadi. Mereka punya anggapan dan penilaian logis bahwa pak Ahok tidak bersalah, pak Ahok tidak melakukan penodaan agama. Keyakinannya juga begitu kuat.

Dan media sosial lagi-lagi riuh yang entah sampai kapan berakhirnya. Tulisan-tulisan yang saya kira bisa memicu pertengkaran, bisa membenturkan berbagai kekuatan baik horisontal maupun vertikal terus saja diproduksi orang. Bahkan oleh orang-orang atau tokoh yang seharusnya bisa jadi penengah.

Kalau begini terus....seolah kita saling berbisik bahkan teriak dengan lantang "Mari rawat luka-luka itu tetap menganga"



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!