"Ndoro" Elit Politik

Dulu, di kampung tempat ibu saya lahir dan dibesarkan, ada sebuah rumah dengan arsitektur bangunannya yang jauh berbeda dengan kebanyakan rumah yang ada di sekitarnya. Atapnya bergenteng jenis Karangpilang yang telah kesohor itu, yang harganya bisa berlipat dari genteng yang biasa dipakai penduduk pada umumnya. Rumah itu bagus mentereng, bercat putih penuh wibawa, rapih terawat dengan berbagai tanaman dan bebungaan yang memberi nuansa asri harmoni. Pekarangannya pun amat luas hingga membuat rumahnya terkesan nampak kecil saja. Pintu dan jendela yang berwarna kuning gading yang amat jarang terbuka, ditambah pagar tembok cukup tinggi yang mengelilinginya serta pintu gerbang yang selalu terkunci itu makin mengentalkan kesan eksklusifnya. Berjarak.

Adalah seorang tuan, priyayi berdarah biru kerabat keraton yang berasal dari kota besar di Jawa Tengah-lah sang pemilik rumah itu. Sang tuan jarang atau bahkan hampir tak pernah nampak disana karena memang hanya sesekali saja priyayi agung itu bertandang kesana, menengok isteri dan anak perempuan yang saya tahu hanya semata wayang.

Telah menjadi semacam keharusan bagi orang-orang di kampung ibu saya, manakala mereka hendak menyapa anggota keluarga priyayi itu dengan sedikit membungkuk dan menyertakan sebutan Ndoro, sebuah sikap dan sebutan yang mendemarkasi dengan tegas perbedaan antara rakyat jelata dengan bangsawan trah ningrat yang rata-rata bergelimang harta dan mempunyai kuasa.
Meski negara telahpun berubah bentuk dari 'negeri para raja' ke republik yang menerapkan demokrasi dan menjunjung azaz kesetaraan sesama warga bangsa dan negara, tak ayal 'rasa' masa lalu itu masih menggelayut kuat. Barangkali warga kampung itu takut kuwalat jika berlaku kurang sopan pada para Ndoro-nya. Tak tahulah.

Hari-hari ini memang kondisi yang demikian sudah sangat bergeser, berubah seiring perkembangan jaman. Namun ada semacam kecenderungan anggapan dari beberapa kalangan entah secara sadar atau tidak, bahwa kecemerlangan masa lalu dari para orang tua itu menjadi garansi tambahan untuk kecemerlangan yang sama dari anak keturunannya.
Faktor genetika dari 'Ndoro Elit Politik' nampaknya (masih) menjadi pertimbangan juga ketika dihadapkan pada sebuah pilihan dan pemilihan, yang terkadang bisa mengesampingkan rekam jejak kinerja, personal track record dari para calon-calon itu. Barangkali memang memerlukan proses yang panjang untuk bisa mengikis kecenderungan publik kita dari keterpesonaan pada 'keelokan' figur melebihi capaian atau prestasinya sebagai dasar pertimbangannya.

Uraian dari postingan Pak Dosen Muhammad Ilham Fadli yang menguraikan tentang keberhasilan Partai Demokrat pada pemilu 2009 dan Partai Gerindra pada pemilu 2019 di Sumatera Barat dalam mendulang suara sedikit banyak telah menjelaskan fenomena ini, bahwa figure magnitude itu (masih sangat) penting dalam kontestasi pemilu kita. Sebagai episentrum atau "pusat gempa"-nya, figur itu harus ditemukan dan dibentuk-citrakan sedemikian rupa dan dikabar-viralkan ke segala penjuru negeri sebagai modal kuat untuk menarik minat. Saya kira hal ini kalau dalam bahasa jawanya adalah tanggap ing sasmita, bentuk kesadaran dari elit politik dalam menyikapi kenyataan dan preferensi yang ada di tengah sebagian (besar) masyarakat kita.

Lalu apakah sebenarnya hal-hal yang berbau asumsi, persepsi dan si si yang lainnya itu kelak akan memberikan bukti prestasi? Ya embuh!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!