LABELLING (1)

Sudah barang tentu bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia industri manufaktur, terutamanya industri yang terkait erat dengan bahan kimia, beberapa gambar/label yang saya sertakan ini sudah tidak asing lagi. Malahan sudah sangat familiar.








Kita, orang-orang yang secara guyonan disebut "pabrik figur" oleh karena "dedikasi" atas waktu dan tenaga untuk pabrik (halah kuli pabrik wae ndadak cem-macem barang!! aahhh...iya ya) akan selalu memberikan perhatian lebih pada label-label sejenis itu ketika akan melakukan penanganannya, oleh karena pentingnya informasi yang ada padanya.
Dengan mengetahui secara benar apa jenisnya dan prosedur bagaimana bahan-bahan itu harus ditangani, terlebih jika terjadi keadaan yang tidak diinginkan, kita telah melakukan semacam jaminan keselamatan baik bagi diri sendiri, orang lain, lingkungan maupun badan usaha kita. Tentu ujungnya juga pada kelancaran proses produksi -imbasnya ya keuntungan pabrik dan bayaran toh- dan juga yang tak kalah penting, reputasi.


Tak disangka dan dinyana-nyana, teknis pe-labelan itu diadopsi dengan secara amat telanjang oleh para politisi kita namun dengan tujuan dan semangat yang berbeda bahkan berkebalikan.
Jika dalam industri manufaktur, label-label itu digunakan lebih untuk menjamin keselamatan kerja para penggunanya, lain lagi dalam dunia politik. Pe-labelan itu dimaksudkan hanya untuk meraih tujuan dan kepentingan diri serta kelompoknya dalam meraup dukungan masyarakat yang ujungnya adalah kekuasaan/jabatan.
Apakah ada pertimbangan khusus pada keselamatan? Jika memperhatikan pernyataan salah satu politisi sableng yang menganggap bahwa adanya korban jatuh dan berdarah-darah adalah ongkos yang mesti ditebus, rasanya tidak berlebihan jika harus dikatakan "kamus politik itu belum pula menyantumkannya.

Barangkali kita tidak akan berbeda pendapat (harapannya begitu sih, tapi ya tentu kembali ke masing-masing dalam melihat dan menyikapinya) bahwa politik identitas yang membawa serta sentimen agama dan keyakinan didalamnya, saat ini senyatanya membawa dampak buruk berupa keterbelahan masyarakat yang berpotensi besar pada adanya konflik horizontal.

Lihat saja pada frasa yang sangat dikotomis "Kami vs Kalian" yang sudah sedemikian parahnya akibat dari tindakan justifikasi serampangan yang me-labeli orang lain atau kelompok lain sebagai lawan secara hitam-putih itu, nyata-nyata telah membuat banyak orang seperti kehilangan akal sehat bahkan kehilangan sisi humanis-nya. Seperti kehilangan pegangan meski pada saat yang bersamaan sedang (merasa) berpegangan pada tali (agama) Allah.

Kita tentu belum lupa (lagi) bagaimana orang-orang bisa dengan lantang meneriakkan atau menganjurkan pada tindakan yang mengerikan, yaitu penumpahan darah dan pembunuhan pada orang atau kelompok lain -yang telah di-labeli itu- bahkan disertai pula dengan takbir, sebuah kata sakral nan agung itu.

Kita masih (juga) belum lupa bagaimana orang (meski dalam akun media sosialnya) dengan gamblang menyatakan kesiapannya untuk mati (syahid) dalam membela "kebenaran" terkait dengan kontestasi pilpres. Untuk ini, maaf kata, absurditasnya sudah kelewat kental.
Catatan:
(1) Sengaja kebenaran bertanda kutip karena -tentu saja- kebenaran itu tidak bisa hanya atas klaim sepihak, ianya perlu rujukan, pertimbangan dan kajian yang memadai, bukan bersifat -dan atas dasar- emosional belaka
(2) Adalah benar dan sepakat bahwa agama itu harus hadir (kapan saja mestinya) ketika orang berpolitik, namun dalam pengertian agama itu harus dijadikan tuntunan dan warna dalam setiap sepak-terjangnya).  


Nah, apa yang sangat penting yang bisa kita lakukan sebagai penduduk dunia maya dan nyata, adalah harus selalu berhati-hati. Pesan leluhur dalam bahasa Jawa yang sangat populer "Ojo Gumunan" itu pada hemat saya, bisa ditafsir sebagai anjuran kepada kita untuk tidak gampang takjub berlebihan dalam menyikapi fenomena yang ada dan telah terjadi, agar kita punya waktu dan kesempatan untuk mencerna dan meneliti, agar bisa melakukan penelaahan yang cukup sehingga tidak terperosok pada pilihan sikap yang tidak tepat.
Ketika kita gampang "gumunan" terlebih dilatari oleh emosi dukungan politik tertentu, maka kita telah menjadi obyek dan sasaran empuk untuk sebaran hoaks dari para demagog.

Bisa terlepas dari belenggu narasi dan label-label yang sengaja dibuat untuk memecah-belah itu, adalah doa dan harapan kita sepanjang waktu.

*Images were taken from (mbah) www.google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!