Diamuk Renjana Kuasa?

'Pengadilan' paling demokratis terhadap para ndoro elit politik yang menurut kita tidak layak pakai, dan menghukum mereka tanpa lembaga peradilan agar berhenti dari kiprah politik praktisnya adalah di bilik suara. Rakyat-lah yang akan menghakimi mereka semua itu melalui suara yang mereka punya.
Dan itu sudah dilakukan oleh para pemilik mandat lebih dari seminggu yang lalu. Kini hanya tinggal menunggu hasil dari 'penghakiman' rakyat itu seperti apa.

Jauh-jauh hari sebelumnya, paling tidaknya yang tergambar di media sosial,  teramat banyak orang mengatakan: "Kita tenggelamkan mereka nanti di tanggal 17 April 2019".  Dan saya kira banyak yang sepakat bahwa pencoblosan adalah wujud dari sebuah people power yang sebenarnya. People power (lunak) yang sangat elegan dan berkeadaban tanpa adanya kekerasan fisik yang berpotensi menimbulkan banyak korban.

Kalaulah dalam pelaksanaan pemilu kemarin berjatuhan korban juga, lantaran beban kerja yang kelewat berat akibat disatukannya pileg dan pilpres adalah hal yang lain. Barangkali kealpaan yang kurang diperhitungkan dengan matang sebelumnya, yakni penyediaan infrastruktur pemilu yang memadai dan mekanisme yang tepat sebagai penunjang atau counter measure atas berlipatnya beban kerja itu.

Apa yang menurut saya penting untuk saat ini adalah mengedepankan rasa emphaty kita atas jerih payah dan kerja besar mereka, emphaty kita pada keluarga dari ratusan korban meninggal dan ratusan lagi lainnya yang sedang menjalani perawatan. Janganlah hanya lantaran dukung-mendukung dan pembelaan pada paslon pilihan, menjadikan kita lupa menghargai jerih payah dan pengorbanan orang lain, lupa pula pada rasa hormat, lalu dengan gampangnya menjatuhkan berbagai macam cercaan bahkan tuduhan yang kelewat menyakitkan.

Kalaulah dalam penyelenggaraannya kemarin ada dugaan kecurangan yang konon katanya TSM(B) alias terstruktur, sistimatis, masif plus tambahan kata brutal, mekanisme yang mengatur untuk penyelesaian masalah itupun sudah pula dipersiapkan. Lembaga-lembaga yang kemana semua permasalahan itu harus dibawa pun sudah pula diatur. Tata aturan mainnya sudah jelas. Tinggal mengumpulkan saja semua bukti-bukti kongkrit dan valid sebagai dasar gugatannya kelak, tanpa perlu mengaduk-aduk emosi massa dengan pernyataan-pernyataan yang bisa merugikan kehidupan kita dalam bernegara dan berbangsa.

Tentang tuduhan adanya kecurangan yang TSM(B) itu, ada baiknya jika para elit itu membuatkan angka-angka dalam bentuk prosentase agar memudahkan kita dalam melakukan penilaian. Karena yang namanya TSM, apalagi ada tambahan (B)-nya harus ditunjukkan oleh angka prosentase yang besar. Dalam bayangan saya, keterstrukturan, kesistimatisan, kemasifan apalagi ditambah kebrutalan hanya bisa dibenarkan jika jumlah kejadiannya sangat besar yang angkanya menurut saya, meminjam istilah memenuhi kuorum, adalah lebih dari 50%. Saya akan mudah percaya telah terjadi kecurangan yang TSM(B) jika misalnya, ada 8 TPS terbelit kasus kecurangan dari 10 TPS yang ada. Jika angkanya kecil, bahkan kelewat sangat kecil yang nol-koma-nol-sekian persen itu maka sulit sekali untuk mengatakan telah terjadi TSM(B). Maka yang saya kira lebih jujur dan adil bagi kita, cukup dengan mengatakan telah terjadi kecurangan pada pemilu kali ini. Tidak lebih, apalagi lebay.

Teramat disayangkan memang, alih-alih memberi contoh dan memberi pembelajaran politik yang baik pada masyarakat konstituennya.
Sebagian dari para ndoro elit politik itu malah dengan lebay meneriakkan TSM(B) yang tidak cukup berasalan itu, yang akhirnya hanya terbaca tak lebih sekedar sebagai bentuk framing dengan tujuan pendeligitimasian semata.
Sebagian dari para ndoro elit politik itu malahan ada yang mengambil sikap yang bisa berujung pada semakin meruncingnya permusuhan, makin melebar dan menguatnya keterbelahan yang telah terjadi di masyarakat.

Rujuk atau rekonsiliasi itu bukan kompromi apalagi negosiasi atas hasil penghitungan surat suara sementara, ianya harus dibaca sebagai cara untuk meredakan tensi yang ada. Prasangka baik itu harus dikedepankan, karena situasi sudah kelewat panas ndoro!. Alangkah baiknya jika para ndoro berangkulan satu sama lain demi terciptanya kondusifitas, keadaan yang lebih baik. Jangan karena ndoro tengah mengalami 'ereksi berkepanjangan' karena renjana kuasa, tengah dimabuk birahi kekuasaan, ndoro melupakan kepentingan yang lebih besar.

Nah, karena ndoro adalah pemimpin, maka jangan sampai dengan berbekal alasan bersetia pada suara konstituen, berbekal alasan tidak mau mencederai suara pendukung, lalu ndoro menolak adanya rekonsiliasi. Ndoro sebagai pemimpin mereka, mestilah bisa mengajari dan menjelaskan pada mereka, para pendukung itu tentang kepentingan yang jauh lebih besar.

Terkecuali memang ndoro sedang takut ejakulasi dini lantaran kehilangan dukungan jika berani mengambil sikap jalan tengah itu sih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!