Misogyny?

Alkisah, pada masa yang disebut dengan masa jahiliyah, masa kebodohan/kegelapan di wilayah jazirah ada budaya atau tradisi untuk mengubur hidup-hidup jika bayi yang terlahir adalah perempuan.
Konon, bagi mereka kelahiran bayi perempuan pada keluarga mereka adalah aib yang harus dihapuskan. Dan dengan cara demikianlah sang aib itu dibersihkan dari rona-rona kehormatan keluarga.

Apakah kisah kelam itu dilakukan oleh seluruh keluarga yang ada pada masa dan kawasan itu?

Saya meyakini, dalam sebuah lingkungan yang buruk sekalipun masih akan bisa ditemukan yang baik-baik meski barangkali tercecer. Berangkat dari persangkaan inilah, meskipun juga belum menemukan catatan tentang hal ini, saya tetap meyakini bahwa pada masa itu masih ada keluarga-keluarga yang tetap kukuh mempertahankan bayi-bayi perempuan mereka untuk tetap hidup meski beroleh tekanan, cibiran, makian dan provokasi dari lingkungannya.
Atau dengan cara sembunyi-sembunyi, proses kelahiran itu diatur sedemikian rupa hingga bayi-bayi perempuan mereka itu terselamatkan.(Yang ini tentu saja untuk puak-puak diluar puak Bani Hasyim karena puak ini tidak bisa diragukan lagi akan keteguhannya, keterjagaan serta kelurusan keimanan mereka pada tali agama Allah yang mereka warisi dari Nabi Ibrahim)

Melengkapi dugaan saya ini, tempo hari dari obrolan santai dengan seorang kawan yang asli orang jazirah, tak tahu dari mana awal mulanya, hingga obrolan sampai pada kisah kelam masa silam itu. Dari penuturannya, kala itu banyak diantara orang-orang yang masih menginginkan bayi-bayi perempuan mereka tetap hidup. Mereka mempertahankannya dengan berbagai cara yang salah satunya adalah dengan jalan  menitipkannya pada keluarga-keluarga yang mereka percayai yang tinggal nun jauh dari kawasan yang mengerikan itu. Salah satu yang Ia sebut adalah Mesir.

Yang diatas tadi saya kira sedikit menjawab bagi mereka yang meragukan kisah penguburan hidup-hidup bayi perempuan hanya sebagai dongeng belaka dengan mengajukan argumennya:
"Bagaimana mungkin sebuah bangsa masih bisa bertahan jika semua bayi perempuannya mereka bunuhi?"

Sekilas argumen yang disampaikannya logis namun sudah menjadi lemah oleh cerita sang native kawan saya tadi, dimana ternyata masih ada upaya penyelamatan, dan kelak pada suatu waktu mereka ambil kembali anak yang dititipkannya itu. Belum lagi jika ditambah dengan berbagai kemungkinan yang lain, misalnya mereka bisa saja menikahi perempuan-perempuan dari wilayah lain yang tidak terpapar paham buruk itu. Apakah mungkin? Mungkin saja!. Bukankah dengan kuasa dan kekuatan finansial yang mereka miliki bisa menggoda orang dari kawasan lain hingga rela melepaskan anak perempuan mereka untuk dinikahi? Untuk lebih memastikannya barangkali perlu penelusuran yang teliti dan mungkin saja cukup rumit dengan mempertimbangkan  usia perempuan-perempuan yang hidup di masa itu, asal-usulnya dan lain sebagainya.

Nah, budaya atau tradisi yang teramat buruk itu dihapuskan dengan hadirnya masa pencerahan yang dibawa oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau membawa risalah mulia yang mana didalamnya -salah satu diantaranya adalah- mengangkat harkat dan martabat perempuan pada posisi yang penting.
Tentu saja kita belum lupa bahwa ada kisah seorang sahabat yang bertanya tentang penghormatan kepada kedua orang tua yang dijawab oleh Nabi hormati ibumu hingga disebut tiga kali dan barulah hormati ayahmu. Saya kira satu kisah ini menjadi contoh paling sederhana dari pengangkatan derajad/penghargaan/penghormatan bagi perempuan.

Budaya lain yang juga dirombak oleh beliau (masih) terkait perempuan adalah dibatasinya jumlah isteri dalam sebuah pernikahan. Jika sebelumnya mereka bisa punya hingga selusinan isteri dan gundik, mengkoleksi banyak perempuan sebagai simbol keperkasaan dan kehartawanan seseorang, yang kata syair sebuah lagu hanya dijadikan perhiasan sangkar madu. Maka dengan agama yang beliau bawa itu dibatasilah hingga maksimal (hanya) empat orang. Pun begitu ada prasarat yang tidak mudah bisa dipenuhi oleh orang kebanyakan, yaitu sikap dan perlakuan yang adil. Jika sekiranya tidak bisa, maka satu isteri lebih utama. Oleh karenanya, agak melebar sedikit -menurut saya- poligami itu hanyalah sebuah fasilitas yang dibuka untuk ummatnya yang memenuhi persyaratan dan oleh karenanya musti dilihat sebagai sunnah khusus. Khusus bagi yang mampu (lahir dan bathin, fisik dan psikis, materi dan  immateri).

Lalu tentang titel Misogyny sendiri ini apa?

Saya beberapa kali membaca opini orang yang bagi saya lebih tepat jika disebut tuduhan. Opini/tuduhan itu menyatakan bahwa dalam ajaran agama Islam, didalamnya terdapat konten misogini (misogyny) alias kebencian terhadap perempuan. Sikap misogini ini bisa mencakupi banyak hal; sikap menyalahkan, merendahkan, men-diskriminasi, men-terbelakang-kan, mengekang perempuan dengan batasan-batasan yang ketat dan hal negatif lainnya.

Narasi cukup panjang tentang perempuan pada awal tulisan ini barangkali saja bagi mereka menjadi awal dari adanya tuduhan misogini itu. Bahwa agama Islam terlahir dari dan di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian rupa keadaannya hingga membawa semacam hello effect bagi beberapa kalangan, lalu dengan semena-mena men-stigma-nya dengan buruk.

Ada baiknya juga jika saya coba sebutkan beberapa hal/kisah miring yang pernah dan mungkin masih terus terjadi hingga hari ini yang boleh jadi menjadi penyebab lanjutan adanya tuduhan misogini, diantaranya:

Taliban, sebuah kelompok pemahaman Islam yang mungkin bisa disebut sebagai ultra konservatif/ortodoks yang ada di kawasan Afghanistan, bahwa mereka -sebagaimana diberitakan oleh media massa secara luas- melarang perempuan-perempuannya untuk bersekolah lebih lanjut, mengenyam pendidikan yang lebih layak laiknya kaum laki. Mereka memperlakukan perempuannya tidak setara dengan kaum lakinya.

Cerita lain, ketika terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan misalnya, maka tidak sedikit suara-suara yang lebih menitik-beratkan akar masalahnya ada pada pihak perempuan (uniknya suara sumbang ini juga berasal dari pihak perempuan sendiri, khususnya yang dikenal sebagai perempuan 'salihah'), bukan pada kaum laki yang mestinya mentaati perintah 'menjaga pandangan' alias menjaga gelegak syahwatnya oleh karena bercokol dan menyeruaknya pikiran-pikiran kotor dari dalam tempurung kepalanya. Mereka malah tidak begitu menyalahkan kaum laki yang telah gagal mengendalikan syahwatnya serta menjinakkan 'manuk' alias batang kelelakiannya itu. Untuk hal ini, mereka punya banyak dalih pembenar yang dicoba untuk membela diri dengan (lagi-lagi) menempatkan perempuan sebagai aktris penyebab kejahatannya. Apa sajakah itu? Mari kita sebutkan beberapa saja, antara lain:

Pakaian. Banyak orang menyalahkan bagaimana cara perempuan berpakaian. Mereka menganggap keseksian perempuan oleh sebab pakaian yang dikenakan menjadi satu faktor kuat yang berkontribusi pada kasus pelecehan. Lalu seolah mereka lupa, bahwa pelecehan seksual juga terjadi pada perempuan yang telah mengenakan hijab yang katanya sudah secara syar'i pula.
Perempuan bergamis gombrang, berkerudung lebar menjuntai bahkan berniqab pun ternyata tidak luput pula dari cerita nista ini. Karena ternyata ada juga kaum laki yang justru terbangkit syahwat dan imajinasi liarnya manakala mereka melihat perempuan dalam kegombrangan hijabnya itu.

So, imajinasi liar kaum laki tentang body perempuan, bukan hanya pada perempuan dengan pakaian yang darinya tercetak lekuk-lekuk tubuhnya saja, melainkan tertutup rapat serta kegombrangannya pun bisa juga menjadi daya tarik fantasi seksual mereka.

Sebagai tambahan, bagaimana dengan cerita tentang buntingnya perempuan penyandang tuna grahita dan juga buntingnya perempuan tidak waras otaknya? Masihkah pantas jika dikaitkan sebagai kesalahan perempuan karena pakaian dan pesona tubuh perempuan karena kemolekan struktur dan bentuknya?. Shit!.

Yang berikutnya, 'Berkeliaran'. Ada banyak orang yang merasa terganggu dengan banyaknya perempuan yang 'berkeliaran' meskipun para perempuan itu sedang dalam urusan penting yang tidak bisa tidak harus keluar rumah, termasuk didalamnya adalah bekerja. Katanya, andai saja perempuan tidak ada yang 'berkeliaran' di berbagai tempat itu dan tetap berada di rumahnya masing-masing niscaya tidak akan ada cerita pelecehan seksual itu.
Saya kira kok terlalu naif pola fikir semacam ini karena kompleksitas masalah yang melatar belakangi perempuan meninggalkan rumahnya tidak bisa disederhanakan sedemikian rupa, tidak pula cukup dengan fatwa-fatwa ustadz yang menyatakan tentang keutamaan wanita yang bekerja di rumahnya masing-masing dengan merawat baik-baik suami dan anak-anaknya. Kompleksitas dari pemenuhan hajat hidup orang itu seringkali bukan hal yang mudah untuk diurai.
Saya berpikir, fatwa ustadz demikian itu hanya sebuah kondisi ideal yang dalam pem-wujudannya diperlukan banyak faktor penunjang yang salah satunya adalah kemampuan pemenuhan materi yang sangat memadai dari para suaminya.
Nah lantas, apakah setelah benar tidak ada perempuan di berbagai tempat kecuali berbarengan dengan muhrimnya itu tidak ada lagi pelecehan seksual?
Barangkali sudah tidak ada, terkecuali pelaku pelecehan itu kelewat nekat dan sintingnya sudah stadium lanjut.
Tapi mari kita ingat sedikit saja cerita pelecehan seksual bahkan perkosaan yang menimpa seorang yang bekerja sebagai PRT. Dia bekerja di dalam rumah dari sebuah keluarga yang oleh karena suatu hal memerlukan bantuan asisten rumah tangga alias PRT itu. Dalam kesehariannya sulit untuk bisa dituduh bahwa PRT itu berpakaian seronok yang membangkitkan birahi mengingat tradisi dari keluarga, lingkungan dan masyarakatnya dikenal sangat ketat dalam urusan pakaian untuk perempuan. Toh kasus nista itu terjadi juga. Barangkali lantaran tidak ada kemampuan untuk melawan kehendak juragan lakinya yang ternyata hidungnya belang itu, si PRT luluh lantak menanggung beban nistanya buah dari ulah sang juragan. (Lalu saya teringat pemberitaan beberapa perempuan yang pulang dari negeri tandus namun kaya-raya oleh sumber daya alamnya nun jauh disana dengan balita-balita mungil berwajah blasteran dalam gendongannya)

Nah akhirnya, dengan berbagai kasus tersebut, menjadi repot untuk membantah dengan lugas pada para penuduh itu. Menjadi sulit mempromosikan bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta, kehadirannya membawa keadilan yang menaungi semesta alam. Karena pada kenyataannya masih sangat banyak orang/kalangan yang melakukan generalisasi. Mereka mengalami bias dalam pemahaman. Oknum, segelintiran orang atau kelompok berperilaku buruk dan melakukan kekeliruan maka kekeliruan itu lantas ditimpakan pula pada sistem atau keyakinan yang mereka anut. Pada kelanjutannya, ketika kita mencoba untuk menjelaskan bahwa perilaku buruk itu dilakukan oleh oknum, oleh orang atau kelompok yang keliru dalam meng-interpretasi atau mentafsirkan ajaran agamanya, mereka akan ketawa dan mencibiri kita, mengolok bahwa kita hanyalah hendak bercuci tangan dengan melemparkan kesalahan pada orang lain.

Apa yang mesti kita lakukan untuk mementahkan tuduhan itu?
Rasanya tidak perlu membuat argumentasi yang ndakik-ndakik dengan berbagai sodoran dalil dan fatwa, karena toh mereka tidak akan mempercayainya. Yang lebih diperlukan adalah pengejawantahan dari keluhuran ajaran agama dalam praktik keseharian. Kita hanya perlu menerapkan Islam moderat, bukan Islam ultra ortodoks dan garis keras. Ini bukan tentang kompromistis tetapi lebih pada kemampuan dalam menantang jaman. Oleh karenanya diperlukan sosok panutan yang mampu memberikan solusi dengan fatwa yang benar.

Saya masih dan tetap haqqul yaqin bahwa pada setiap ummat dari jaman manapun dan kapanpun akan selalu hadir ditengahnya seorang penyeru, seorang pemberi peringatan, yang membuat agama bukan sebagai bahan cemooh sekaligus seorang yang menjadi saksi kelak di hari kemudian. Kondisi demikian telah disebutkan dengan gamblang di dalam kitab suci Al-qur'an al Karim. Apakah kita boleh dan bisa menafikannya?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!