Ke Ustadz-ustadz Itulah Saya Belajar Memaki

Luar biasa memang jaman now ini, kita sangat dimanjakan dengan adanya fasilitas internet yang sudah sedemikian rupa, hingga (kalau tidak bisa mengendalikan diri) bisa terlena dan habislah waktu kita terserap olehnya.

Baru di kanal youtube saja, konon katanya, untuk bisa menonton semua yang ada disana seumur hidup kitapun ngga akan selesai, karena saking banyaknya. Dan karenanya pula, seolah apapun yang ingin kita cari akan bisa didapatkan, yang bermanfat maupun tidak, yang baik-baik maupun yang menjijikkan.

Barangkali kata menjijikkan bagi sebagian kita akan terasosiasi pada hal-hal yang lebih bersifat pornografis meskipun tidak selalu demikian, karena ada banyak diluar pornografi yang bisa membuat kita muak dan merasa jijik.
Dari banyak hal itu apa yang lebih menjijikkan, menurut saya, adalah jika orang berbicara agama tetapi di dalamnya bercampur dengan hal-hal yang berlawanan dengan ajaran agama itu sendiri. Pensitiran kalam-kalam suci lalu diikuti cacian, makian, hinaan, kata-kata buruk, tuduhan bahkan fitnah yang terkeluarkan dari mulutnya adalah hal yang sangat menjijikkan. Apalagi jika yang melakukan itu adalah orang yang dikenal sebagai pribadi yang mengerti dan taat agama yang padanya podium dan mimbar diberikan.

Apa yang terjadi? Ditangannya podium dan mimbar yang semestinya sangat bermanfaat untuk khalayak menjadi tercemar dan rusak akibat lancang tak terkendalinya lisan-lisan mereka.
Saya menduga keterjungkir-balikan logika berpikir sebagian masyarakat yang bisa dirasakan saat ini, sangat boleh jadi tersebab dari narasi-narasi buruk oknum agamawan yang seperti demikian ini.

Kita bisa bayangkan, di hadapan massa pendemo yang sedemikian besar yang bilangannya hingga jutaan itu, makian dan hinaan dari seorang yang dikenal sebagai ustadz terhadap tokoh yang sangat pantas dihormati, siapapun itu (salah satu contoh: menteri agama), bagaimana dampak buruk dari ucapannya itu? Bukankah sama saja dengan memberi contoh ketidak-adaban dan kekurang-ajaran? Lalu dimanakah yang dinamakan akhlak al-karimah yang dicontoh-perintahkan oleh baginda Nabi SAW itu ditempatkan? Dan sungguh sangat memprihatinkan, hinaan dan hujatan itu didiamkan pula oleh tokoh-tokoh yang katanya nasional yang berada dalam satu panggung dan bahkan disambut dengan rasa suka cita oleh massa. Bukankah masih segar dalam ingatan kita, pada saat-saat tertentu dari orasinya itu disambut oleh massa dengan pekik takbir yang membahana?

Cerita diatas adalah sebuah contoh tidak sedap dan tidak pantas sama sekali yang terjadi pada arena demonstrasi. Mungkin karena terbawa situasi dan kondisi sebuah acara bertajuk demonstrasi yang bawaannya selalu panas hingga membuat lupa akan pengutamaan akhlak. Barangkali saja.
Namun kisah yang berikut ini kiranya lebih mengiris hati, bagaimana tidak? Di dalam masjid, pada mimbar yang sakral saya kira, ada ustadz yang dengan sangat sombongnya merendahkan orang lain yang dikenal berilmu luas, hafiz qur'an dan tafsir, berakhlak baik dan banyak hal positive lainnya. Keberanian dan kecongkakannya sudah sangat berlebihan, menilai orang-orang yang dimusuhinya itu sebagai munafik bahkan berani mempertanyakan atau meragukan keimanannya.
Sungguh hal yang sangat luar biasa, karena dia sedang mempromosikan kebencian dan tuduhannya itu hanya atas dasar perbedaan preferensi politik dan dilakukannya dari salah satu rumah Tuhan serta di hadapan jama'ah yang besar.

Urusan politik praktis ini telah menyeretnya begitu jauh meninggalkan akhlak mulia yang mestinya dia junjung tinggi-tinggi. Urusan politik ini pula telah Ia jadikan sebagai alat dikotomi yang tajam dan bisa menjungkir-balikkan logika berfikir khalayak seperti di awal tulisan.
Apa keterjungkir-balikan logika berpikir itu, adalah cara pen-dikotomi-an antara kedua kubu dan pendukungnya pada kontestasi pilpres yang sedemikian gegabah yang terus digulirkan. Dikotomi tajam yang sangat diametral, dengan dihadap-hadapkannya dua kubu itu sebagai hitam-putih.
Tentu kita masih ingat penarasian tentang partai pendukung penista agama, kriminalisasi ulama, anti terhadap Islam, kebangkitan komunisme dengan kader-kadernya yang ada di partai tertentu dan yang bejibun negatif lainnya, yang digunakanlah itu semua sebagai stigma negatif untuk kubu yang berseberangan dengannya.

Jika mereka mengklaim sebagai kubu yang didukung ulama, apa kurangnya keulamaan kyai-kyai yang ada di belakang petahana? Apa kurang keulamaannya dari seorang Kyai Ma'ruf Amin salah satu petinggi NU sang calon wapresnya?

Nah, dengan ungkapan yang sepadan, tentu kita juga pada akhirnya bisa mempertanyakan balik keulamaan mereka yang mengadakan ijma'. Bagaimana mungkin mereka para ulama itu masih memberikan dukungannya sementara hasil ijma'nya saja -tentang pilihan cawapres harus dari kalangan ulama- tidak digubris sama sekali oleh orang yang didukungnya itu?. Bagaimana mungkin keputusan final mereka yang sudah diabaikan begitu saja, mereka masih bisa dengan senang hati menerimanya, sementara konon katanya pilihan ulama juga adalah suara langit? Ada kepentingan apakah di balik semua itu?

Yang berikutnya, bagaimana mungkin seorang Prabowo yang tidak diketahui track record kiprahnya dalam keberagamaan, yang menurut pernyataannya sendiri dia adalah elit yang terdidik dengan cara barat, meng-klaim diri sebagai westernized elit dan yang pernah pula mengatakan "Kalau Indonesia ingin maju harus westernisasi" yang bisa diartikan sebagai pengesampingan identitas jati diri bangsa yang mempunyai budaya yang tinggi, itu bisa dijadikan tolok ukur sebagai pihak yang berada pada kebenaran? Sementara pihak lain dicap sebagai kebalikannya?

Jangan dilupakan pula viralnya video orang berjas rapi yang mengaku ketemu dengan seorang profesor di sebuah pesantren besar mengatakan bahwa sang profesor dengan sangat bersedih mengatakan jika Prabowo kalah, itu sama artinya dengan kekalahan ummat Islam dan ia sangat mengkhawatirkan hal itu hingga katanya berakibat pada punahnya Islam di negeri ini?
Atau yang paling anyar tentang puisi munajat 212 Neno Warisman yang dalam sebuah deret syairnya itu mengadaptasi doa Nabi SAW pada perang Badar yang kurang lebihnya "Kalau tidak Kau menangkan kami, kami khawatir Ya Allah tidak ada lagi yang menyembahMu"
Lalu lihat dan baca pula apa yang sering netizen tuliskan di media sosialnya: "Saya memang tidak akan mendapatkan apapun dan tidak akan langsung merubah nasib saya, tapi setidaknya dengan memilih Prabowo saya telah melakukan sesuatu untuk menyelamatkan bangsa, negara dan agama saya dari kerusakan".

Logika berpikir dari sebagian masyarakat kita, setidaknya pada mereka yang aktif di media sosial, sudah sedemikian parahnya. Mereka telah memakan habis informasi yang distortif itu dan telah menjadikannya sebagai landasan dalam menentukan sikap dan penilaian. Yang demikian ini saya kira membuat kita miris dan sudah sangat mendesak untuk diluruskan kembali. Diingatkan kembali bahwa tuduhan terhadap pemerintahan petahana yang sedemikian itu masih sangat-sangat prematur karena masih sangat bisa diperdebatkan kebenarannya. Lalu tentang kontestasi yang lima tahunan ini juga, ini bukanlah pertarungan antara haq dan bathil. Bukan pula sebuah peperangan, melainkan kontestasi gagasan yang dalam bahasa agama dikenal dengan sebutan fastabikhul khoirot, berlomba-lomba untuk kebaikan. Maka akan sangat berlebihan jika kontestasi ini dianalogikan dengan perang Badar atau perang-perang lain yang dilakukan Nabi SAW yang tertulis dalam sejarah Islam. Adalah sama sekali bukan, karena kontestannya sama-sama muslim dan didukung oleh kaum muslim pada masing-masing pasangan calonnya.

Jika masih tetap kukuh pada analogi itu, maka secara tidak langsung telah menuduh kubu lain sebagai kubu kebathilan, sebagai kubu kafir pengingkar Tuhan karena perang-perang yang dilakukan kanjeng Nabi SAW adalah bertahan dan melawan kafir qurays yang hendak mematikan dakwah Islam. Silahkan berpikir ulang tentang konsekuensi logis dan dampak ikutannya dengan analogi itu. Akan sangat berat untuk dipikul dan ditanggung kelak di hari kemudian.

Lalu apa cara yang paling awal yang bisa dilakukan untuk mencegah semakin meluasnya potensi perpecahan di kalangan grass root?.
Adalah dengan tidak memberikan tempat, mimbar dan podium pada para pendakwah atau tokoh siapa saja yang berlisan buruk.
Ibarat para pendakwah itu adalah pembawa cerek-cerek berisi minuman yang lezat untuk diteguk, maka pilihlah pendakwah yang menuangkan minuman pada cangkir yang sudah kita siapkan. Bukan pendakwah yang menumpahkan minuman bercampuran tak jelas dari cereknya itu pada meja atau bahkan lantai, lalu kita meminumnya dari sana.

Panitia-panitia acara bertajuk kajian atau tabligh akbar harus lebih jeli untuk mengundang nara sumber yang tidak membuat suasana menjadi lebih keruh.
Sementara untuk para nara sumbernya, lebih bisalah dalam menahan diri untuk tidak membuat suasana panas dan gaduh yang berpotensi mendatangkan konflik horizontal antar ummat ataupun konflik vertikal dengan pemerintah. Selalulah mengingati tauladan dari Sang Uswatun Hasanah junjungan kita baginda Nabi SAW.

Peran aktif dari orang berpengaruh dari kalangan ummat dan lembaga non pemerintah yang justru sangat diperlukan, dan bukan dari pihak pemerintah langsung yang menangani hal-hal demikian ini. Karena jika pemerintah yang bergerak langsung untuk mengatur atau membatasi geraknya, maka yang akan muncul lagi adalah narasi bahwa pemerintah tengah membungkam suara dan memberangus ummat Islam yang dinilai berseberangan dengannya. Atau kata-kata membenci Islam dan kriminalisasi akan digaungkan lagi meski tindakan yang dilakukannya itu adalah bentuk tanggung jawab sebagai penyelenggara negara dalam mencegah adanya potensi buruk yang boleh jadi kelak berdampak negatif yang lebih besar lagi bagi negara dan bangsa.

Nah yang terakhir, jika dalam uneg-uneg yang saya tuliskan ini ada yang bisa dikategorikan sebagai hujatan atau makian, maka jangan pula salahkan saya wahai yang padanya disematkan atribut ustadz, ketahuilah bahwasanya kepada antum jualah saya belajar memaki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!