Bonus Demografi Itu Mesti Terselamatkan!

Fenomena menarik yang belakangan ini tengah mengemuka adalah cerita tentang banyaknya angkatan muda kita, para remaja pelajar kita yang sedang giat dan gandrung untuk lebih mempelajari agamanya. Antusiasme belajar mereka begitu tinggi.
Fenomena yang terjadi ini saya kira sangat menggembirakan mengingat gambaran umum dari masa remaja adalah masa bersuka-ria yang seolah tanpa beban.

Tentu kita patut bersyukur dan berbangga pada mereka yang telah tersadarkan akan pentingnya agama sebagai pedoman hidup selagi masih dalam usia belia. Semacam ada harapan baik jika kelak mereka dewasa, telah mempunyai bekal spiritual yang memadai yang akan sangat berguna untuk melanjutkan estafet dalam merawat dan memajukan negeri ini untuk meraih gelar baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.

Atas fenomena ini, adakah terbersit sesuatu yang lain selain dari rasa gembira, bangga dan optimisme yang tinggi itu?

Ada. Kekhawatiran itu muncul ketika mereka tidak mendapatkan pengajaran yang benar, ketika mereka tidak mendapatkan guru-guru yang benar-benar menguasai ilmu agamanya. Karena yang demikian justru bisa berubah menjadi sebuah kecemasan yang besar jika mereka terjatuh dalam rengkuhan para pengajar yang belum mumpuni apalagi jika sanad keilmuannya tidak jelas alias meragukan, dan terlebih jika para pengasuh itu berpaham dan berpemikiran radikal dan garis keras. (Ah..tentang radikalisme dan garis keras ini memang banyak simpang siur baik batasan maupun pemahamannya juga sih)

Kekhawatiran itu semacam beroleh jawaban pembenaran ketika muncul pula fenomena yang lainnya, yakni bertebarannya 'ustadz-ustadz (dadakan)' yang tidak diketahui track record dalam belajar agamanya yang (sayangnya) digandrungi para muda itu lantaran berdakwahnya dengan cara dan gaya baik bahasa dan dandanan yang nyetel dengan mereka. Ibarat sebuah bisnis, ustadz-ustadz (dadakan) ini jeli dalam melihat dan mengerti betul bagaimana cara untuk masuk dalam segmen 'pasar' yang cukup besar ini meski bekal ilmunya belum cukup memadai untuk tidak mengatakannya nekat. Alasan mengatakan kebelum-cukupan itu bagi saya sudah terjawab dengan gamblang ketika salah satu ustadz ngepop itu selip lidah dengan mengatakan Nabi Muhammad pernah sesat lalu dilanjut dengan kritikan terhadap perayaan dan yang meraayakan maulid sang Nabi, (sambil senyum) katanya : "Lalu peringatan maulid itu memperingati apa? Memperingati kesesatan Muhammad?"
Apa yang bakal terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak, hebohlah seantero dunia 'persilatan'. Banyak kalangan yang tidak terima dan marah atas ucapan si ustadz ini, yang lalu diklarifikasi olehnya dengan permohonan maaf atas kesalahan yang dilakukan lantaran pada hari itu dia mengaku sangat kelelahan setelah berdakwah dari berbagai tempat. Eit tunggu dulu, faktor kelelahan ini bagi saya sebenarnya sulit diterima mengingat lanjutan kalimat tentang maulid yang mengikuti kata sesat itu sudah sebagai bentuk penegasan pendapat dia atas kesesatan yang dituduhkannya, sekaligus mengungkap bahwa sedemikianlah itu pemahaman dia tentang Nabinya, tidak lebih. Namun baiklah saya bisa memakluminya ketika dia juga mengaku kurang referensi dan belajarnya secara otodidak. Runyam.

Apakah tipikal ustadz yang demikian itu hanya dia seorang? Saya yakin dia tidak bersendirian di dalam keadaannya, terlebih lagi banyak dijumpai kenyataan ustadz-ustadz itu belumlah cukup waktu dalam mempelajari agamanya. Banyak dari mereka adalah orang-orang yang 'hijrah' dari keadaan dan lingkungan sebelumnya yang cukup terpisah dengan kehidupan yang agamis.
Keluasan lingkup bahasan dan kompleksitas yang ada dalam ajaran agama itu tidak cukup dipahami hanya dengan waktu belajar dan mengkaji secara instan, ibarat seumuran jagung saja. Penguasaan itu butuh waktu panjang yang berbilang tahun, windu atau mungkin malah dasa. Ada baiknya jika bisa lebih menahan diri untuk tidak menyampaikan sesuatu yang tidak betul-betul dikuasainya.

Ada lagi yang sangat penting yang harus dimiliki oleh juru dakwah itu, yakni akhlak. Mampu menjaga akhlaknya baik melalui lisan (pun juga tulisan), sikap dan amal perbuatan.
Saya, dan tentu juga yang lainnya, masih sangat ingat bagaimana ada seorang yang digelari ustadz atau bahkan ulama, bisa sangat enteng lidahnya dalam menjustifikasi ulama lain sebagai munafikin atas dasar perbedaan pilihan gerbong politiknya. Bagaimana pula dia bisa dengan ringannya mengeluarkan cacian, makian bahkan berani menilai kadar keimanan pada orang yang berseberangan dengannya padahal orang yang dihujatnya itu memiliki keunggulan ilmu, akhlak, zuhud pada dunia dan punya kontribusi besar dalam pengabdian pada agamanya, sementara dia sendiri yang tidak jelas belajar agama dari mana tengah menggelegar mulutnya tanpa sadar menumpahkan racun yang mematikan.

Apakah kita yakin akan mendapatkan hal baik dari ustadz yang sedemikian itu?
Saya akan tegas katakan tidak, walaupun banyak diantara kita yang menggandrungi dan menjadikan dia pilihan panutan. Itu terserah saja.
Tapi kalau saya menolak dengan keras pada ustadz yang dari mulutnya keluar omongan yang menunjukkan kecongkakan yang luar biasa dan memilih ustadz yang mempunyai kelapangan ilmu dan akhlak, yang Ianya tidak mencampur-adukkan dalam dakwahnya itu konten-konten yang saling berlawanan, saling bertentangan, yakni Kalam Illahi dicampur aduk dengan caci-maki. Saya memilih yang mengharamkan lidahnya untuk berkata-kata buruk.

Nah, fenomena-fenomena ini sedang terjadi ditengah-tengah kita sehingga menjadi hal yang sangat penting untuk selalu dicermati dan waspadai. Porsi perhatian pada para muda ini harus lebih ditingkatkan. Makanya sangat diperlukan adanya orang yang bisa mewadahi, yang bisa berbicara ke mereka dengan cara dan bahasa yang enak dan pas buat mereka. Harus ada yang bisa membuat penyegaran dalam cara berdakwah dengan terbangunnya suasana akrab dan interaktif yang tidak berkesan sangat formil dan kaku.


Saya kira ini ladang amal yang sangat bagus untuk digarap oleh orang yang punya kompetensi yang memadai agar kelak di kemudian hari harapan membuncah akan bonus demografi membawa hasil sebagaimana diharapkan. Akan menjadi penyesalan panjang nantinya jika segmen besar ini terjatuh pada orang atau kelompok yang kontra produktif dengan cita-cita luhur atas berdirinya negara dan bangsa Indonesia yang kaya akan budaya dan sumberdaya yang tersebar di seantero negeri.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!