Kisah Pendekar Golok Lidah Api

"Ciat..ciaat..ciaatttt"

Dengan gerakan yang tangkas pendekar muda itu sekonyong-konyong menyerang orang berpeci hitam yang berkalungkan sarung di lehernya itu. Meski beberapa kali serangannya hanya mengenai ruang kosong, ia masih terus saja menyerang.
Orang berpeci hitam itu senyatanya tidak kalah tangkas dan gesitnya. Ditilik dari cara menghindar dan berkelitnya yang sangat efisien saat meladeni serangan, jelas dia seorang yang mengerti betul tata gerak beladiri. Apalagi ketika pada suatu serangan yang mengharuskannya melompat agak jauh ke belakang, lompatannya itu ia lakukan dengan sangat ringan diakhiri dengan kuda-kuda yang kokoh mantap.

Serangan dari pendekar muda itu semakin menggebu lantaran sampai berpuluh jurus tak satupun pukulan dan tendangannya bisa mengenai sasaran. Keadaan ini membuatnya semakin kalap saja, hingga beberapa kali dalam serangannya itu nampak ada celah yang bisa digunakan oleh lawannya untuk memukul balik bahkan menjatuhkannya. Namun uniknya, peluang itu sama sekali tidak dimanfaatkan oleh sang lawan. Orang berpeci itu masih tetap pada pendiriannya, tidak akan menyerang balik.

Menyadari lawannya hanya menghindar terus, sang pendekar menghentikan serangan dan dengan geram ia menghardik:
"Dasar pengecut! Bangsat! Bajingan!! Ayo kalau memang situ jagoan hadapi seranganku. Kita beradu kekuatan. Jangan bisanya hanya menghindar".

"Udahlah kawan, kita hentikan saja permainan ini. Kita ini bersaudara bukan musuh yang harus berbaku hantam. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Buat apa perkelahian ini harus dilakukan? Yang ada hanya kerugian, percayalah kata-kataku".  Orang berpeci hitam itu dengan sabar berusaha menenangkan penyerangnya.
Tetapi usaha itu nampaknya menjadi sia-sia belaka lantaran api kemarahan sudah terlanjur membakar hati sang pendekar muda itu.

"Jangan banyak bacot! Jangan sok menasehati! Tak culek matamu?!" Dengan emosi yang meledak sang pendekar berteriak kencang. Berbarengan dengan itu tangan kanannya meraba gagang golok yang terselip di pinggangnya dan...
"Sreeettt" Dengan agak bergetar golok yang di gagangnya terukir sepintasan mirip logo 'under armour' dan di bilahnya bergrafuur tulisan "Lidah Api" itu tercabut dari sarungnya.

Demi melihat perkembangan keadaan yang ternyata malah makin memburuk, orang berpeci itu suka tidak suka harus merubah pendiriannya. Kali ini Ia tidak bisa lagi hanya menghindar, melompat kiri-kanan-belakang dan berlarian kecil seperti sebelumnya. Ia terpaksa harus melakukan perlawanan demi menjaga keselamatannya sendiri. Kain sarung yang sebelumnya hanya bertengger di leher itu, kini telah berpindah ke kedua tangannya. Nampaknya Ia akan menggunakannya sebagai senjata untuk menjinakkan golok sang pendekar.

Sememangnya keributan dan perkelahian itu, seperti yang telah mereka perkirakan, bakal tak terelakkan. Oleh karenanya, ketika matahari hampir menyentuh garis cakrawala senja di tanah kosong pinggiran kampung yang berjarak hanya beberapa ratus langkah dari kantor kelurahan, yang sudah cukup jauh terpisah dari keramaian itulah yang dipilihnya sebagai tempat dan saat pencegatan. Pertimbangan utama mereka, agar urusannya cepat kelar tanpa diganggu oleh banyak pihak atau paling kurangnya tidak menjadi tontonan gratis bagi banyak orang yang lalu lalang.

Sebelum akhirnya pertarungan itu terjadi, ada perdebatan antara para pencegat yang dimotori oleh pendekar bergolok dengan orang berpeci hitam itu. Para pencegat menuntut si peci hitam dan gurunya serta orang-orang yang ikut bertanggung jawab di dalamnya untuk mencabut pernyataan yang menurut kelompok para pencegat itu keliru dan menyalahi pakem yang sudah ada dan baku.

Si peci hitam bersikukuh bahwa tidak ada yang salah dari pernyataan gurunya oleh karena keputusan atas pernyataannya itu didukung dengan landasan berpikir yang kokoh dan sandaran ilmu yang kuat. Di sela-sela perdebatan itu si peci hitam menyarankan supaya dijalin komunikasi yang baik dengan cara tabayun dan jika perlu berdebat langsung dengan gurunya berbasiskan pada keilmuan. Namun karena sesuatu dan lain hal, kemarahan sang pendekar golok dan kawan-kawannya sudah tak bisa lagi untuk diredam dengan berbagai argumentasi dan saran yang disampaikan. Dan terjadilah sudah perkelahian itu yang diawali dengan serangan-serangan tangan kosong sang pendekar.

Dalam kegentingan yang sudah sedemikian mengkhawatirkan, beberapa kawan sang pendekar yang berdiri tidak terlalu jauh dari arena tarung itu saling berpandangan. Salah satu dari mereka berujar:
"Wah ini bisa gawat. Kalau goloknya udah ikutan...ngga taulah!?. Bisa wassalam si peci sialan itu. Apalagi dia...apa tuh yang dipegangnya? Sarung? Bisa apa dengan sarungnya itu?. Ah moga aja si Abang bisa menahan diri".

"Terus gimana ini...kita biarin aja atau perlu kita lerai?" Timpal yang lainnya.

"Ah biarin aja! Ini pelajaran buat orang-orang sejenis dia yang suka mengganggu kedamaian dan ketentraman kita dan kampung kita ini. Bukankah kata guru kita orang sejenis ini telah sesat dan menyesatkan". Kata yang seorang lagi.

Dalam waktu yang hampir berbarengan mereka mengangguk-anggukkan kepalanya. Barangkali saja mereka sedang mengingat-ingat pesan dari salah satu diantara guru-guru mereka "Jangankan hanya dihina orang yang menistakan agama, orang munafik dan gerombolannya, menurut syariat boleh dibunuh, halal ditumpahkan darahnya".

Sementara itu di arena tarung, sang pendekar sudah memainkan bilah goloknya dengan lincah diikuti setapak demi setapak merangsek maju mendekati lawannya.

"Ciat..ciaat...ciaaattt" 

Suara sang pendekar kembali terdengar seiring dengan terayun-ayunnya golok di tangan kanannya yang terus mengejar. Si peci hitam dengan gerakan yang lincah bagai sedang memperagakan sebuah tarian yang indah, selalu berhasil menghindari setiap serangan pendekar itu.

Waktu berjalan terus dan pertarunganpun semakin seru. Setelah berpuluh tebasan golok berlalu, tibalah saat dimana keadaan yang cukup sulit bagi si peci hitam terjadi juga. Satu tebasan keras dari sisi kirinya yang mengarah ke lehernya itu hampir saja mengakhiri perlawanannya. Pada keadaan genting itu dengan reflek yang sangat mengagumkan si peci hitam menghindar dengan membuang tubuhnya ke belakang dan dengan kuda-kuda yang rendah itu ia melancarkan sebuah serangan tak terduga.

Kain sarung yang telah berubah menjadi sejenis senjata lentur itu ia sabetkan kuat-kuat ke arah pergelangan tangan kanan sang pendekar. Kain sarung itu tidak hanya memukul keras tetapi sekaligus membelitnya. Dan dengan satu hentakan kuat tak ayal lagi golok itupun terpental lepas dari genggaman sang pendekar yang menjadi sedikit terhuyung, Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dengan cepat si peci hitam mengayunkan kaki kanannya untuk menyapu kaki sang pendekar yang telah kehilangan sedikit keseimbangannya itu..
"Bruuggg" dan jatuhlah sang pendekar.

Menyadari jagoannya tersungkur, serentak beberapa orang yang menyertai sang pendekar itu maju ke arena...

"Stoooppp. Jangan pula kalian ikut memperpanjang perkelahian yang tak patut ini. Aku tak mau berlarut-larut. Aku ngga ada waktu ngeladenin kalian semua. Hanya saja yang perlu kalian ingat, sudahi cara-cara kalian yang selalu merasa benar sendiri itu. Jadilah orang-orang yang bisa menghargai perbedaan. Camkan itu!!". Dengan bergegas si peci hitam meninggalkan para pencegatnya setelah mengakhiri kata-katanya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!