Trans-literasi, Problem Yang Tak Kunjung Usai

"Bahwa segala sesuatu itu tergantung pada apa yang diniatkannya. Baik yang diucap-lafalkan maupun yang tersembunyi di dalam hati. Dan (pengetahuan) Allah sekali-kali tidak pernah tersembunyi dari segala isi hati. Allah maha melihat dan mengetahui baik yang nampak maupun yang tersembunyi."

Sebuah pengingat yang pernah disampaikan oleh salah satu guru agama saat di bangku sekolah dulu itu, kembali terngiang saat ini dan rasanya masih (bisa) relevan untuk menanggapi ketika masih banyak diantara kawan di medsos yang masih saja mempermasalahkan atau saling koreksi terhadap penulisan kata atau kalimat dari bahasa asing (dalam hal ini Arab).

Problem sebenarnya adalah faktor trans-literasi dari bahasa asal ke bahasa yang dipakai sehari-hari oleh penutur itu. Serta pilihan huruf sebagai simbol yang mewakili bunyi atau huruf asalnya yang berbeda untuk setiap bangsa/negara.
Ketika kita menuliskan kata atau kalimat bahasa Arab ke bahasa Indonesia maka sudah semestinya jika kita menuliskannya dalam konteks Indonesia, memakai kaidah yang sudah ada dan dipakai di Indonesia yang sudah dibuat oleh ahli bahasa tempo doeloe. Kita malah tidak pas jika merujuk pada trans-literasi yang dipakai oleh negara lain khususnya negara-negara timur tengah karena sangat berbeda. Mereka, negara-negara timur tengah itu mentrans-literasi huruf Arabnya ke abjad itu lebih ke English (British/American). Dan karenanya maka trans-literasi yang dibuat oleh ahli bahasa kita malah lebih lengkap dan sesuai dengan kita. Bisa ditengok saja pada buku-buku hasil penterjemahan dari Arab ke Indonesia.

Menyadari hal-hal di atas itu, ketika kita ingin menuliskan apa yang ada di fikiran dan benak hati kita, apa yang terlintas padanya, maka "kesalahan" dalam ejaan bukanlah soal lagi. Karena penulisan hanyalah ekspresi visual yang digunakan untuk mewakili pikiran dan lintasan-lintasan abstrak yang ada itu, yang kesemua maksudnya diketahui oleh Allah Tuhan seru sekalian alam.
Dan yang terpenting dari tulisan sebagai ekspresi jiwa bahkan, tentu adalah esensi dari tulisan dan pesan yang hendak disampaikan, bukan pada simbol-simbol yang dipakainya.

Jika kita masih saja sibuk mempermasalahkan simbol-simbol itu, maka kesibukan itu bisa menjadikan lupa pada pesan pentingnya sebuah karya tulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!