Mari Bercerita Saja!

Dari Nguping Aku Mengenal Mereka, Sebuah Episode Awal

Bepergian sendiri tanpa membawa serta keluarga itu ada semacam kebebasan tersendiri. Ga ada beban pikiran yang berlebih. Ini bukan tentang ngga mau repotnya, tetapi biasanya menjadi tidak sederhana jika dalam bepergiannya itu harus ada transit-transit yang mesti dilakukan. Apalagi jika transitnya berjam-jam yang begitu menjemukan. Kasian aja melihat mereka seperti keleleran gitu. Ga tega..sumpeh deh. Sementara mau nyariin penginapan, tanggung, sayang di waktu eh duitnya (dasarnya aja pelit!)
Nah kalau sendiri itu, mau tiduran dimana aja ga jadi masalah. Mau di kursi peron, mau di bangku terminal, mau ngleset di karpet ruang tunggu bandara atau bahkan nyempil di pojokan mushola juga ga jadi masalah. Dibikin sesimpel-simpelnya.

Hari itu ngga seperti biasanya. Jika sebelum-sebelumnya waktu transit paling pendek yang ditawarkan di web maskapai Qatar Airways selalu menjadi pilihan, maka hari itu transit panjang sekitar 6 jam-an di Hamad International Airport - Doha sengaja aku pilih untuk perjalanan pulang kali ini.

Waktu yang panjang itu benar-benar aku nikmati. Meng-asap di smooking lounge nan bersih itu serasa nikmat. Segelas kopi jenis arabica bukan Starbuck dan tanpa gula itu ikut nemenin di salah satu sudut ruangan itu.

Sengaja milih tempat yang agak nyempil terpisah dari beberapa orang yang sepertinya rombongan pulang umroh, sebagai antisipasi kalau-kalau rasa kantuk itu tiba-tiba datang, bisa langsung lesshh tidur tanpa terganggu oleh bisingnya orang-orang yang lagi pada ngobrol.

Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sudah dua jam "terkucil" dipojokan itu, yang hanya berteman dengan 3 bangku kosong di sebelah kananku dan satu meja berikut asbaknya di depanku, ketika dua orang yang datang itu mengambil dua tempat duduk kosong di sebelah kananku. Waduh alamat ngga bisa tidur nih, mana mata dah mulai ngaco saat dipake baca. Masak iya baris kalimatnya lompat-lompat. Konsentrasi dah mulai kendor keknya. Apa boleh buat.

Dan bener aja mereka berdua mulai ngobrol. Makin lama makin asik aja mereka ini. Meski mata ini udah agak-agak berat untuk tetep melek, namun si kuping masih aja nangkep obrolan mereka.

Kantuk itu malah mendadak hilang ketika mereka, sebut aja Adhoen dan Giral, demikian nama yang aku berikan pada mereka untuk menyamarkan nama aslinya demi alasan semacam privasi lah, ketika akhirnya ada kesempatan berkenalan dengan mereka sebelum kami berpisah.
(Sekedar catatan, karena aku ngefans ama Ustadz Tengku Zul yang hobi nge-medsos dan kruiiitiss pol pada penguasa itu, maka nama tokoh cerita yang kawan baruku ini kunamai mirip-mirip ama yang dipake ustadz. Beliau pake nama Adoel dan Giran, eh siapa tahu dengan memiripkan nama tokoh cerita ini bisa dapat percikan karomahnya. Amien ga pake Rais...eh!).

Hilangnya kantuk itu lantaran obrolan mereka aku anggap udah kelewat menarik dan sayang untuk dilewatkan begitu saja. Point yang menarik itu ketika si Adhoen melontarkan pertanyaan pada Giral.

"Ral, apakah kamu pernah kepikiran sekiranya pertanyaan di alam kubur itu tidak tunggal pada setiap pertanyaannya, tetapi ada anak-anak pertanyaan yang mengikutinya".

"Apakah maksudmu, misalnya tentang pertanyaan Siapa Tuhanmu, maka masih ada pertanyaan penyertanya, sebelum pertanyaan lanjutan Siapa Nabimu seperti ceramah ustadz-ustadz itu?" Giral menanggapi.

"Yap. Aku kepikir kalau Sang Penanya itu melanjutkannya dengan bermacam pertanyaan turunan, demi menelisik ketauhidan seseorang. Seberapa mengenal seseorang itu pada Siapa yang selama ini dia abdikan hidupnya, kepada Siapa dia selama ini dia menyembah. Apakah pada Allah SWT semata ataukah pada Tuhan rekaannya sendiri. Karena jika hanya berhenti pada pertanyaan yang jawabannya Allah SWT saya kira bisa dijawab oleh siapa saja yang pernah mendengarnya. Tentang hal ini terus terang aku belum pernah membaca literatur atau riwayat berkenaan dengannya. Tetapi akal dan logikaku terus bertanya-tanya dan yakin bahwa printilan dari pertanyaan utama itu akan ada." Adhoen menukas.

Aih...dua orang ini kok yang diobrolin gini amat seh, bikin orang jadi melek nih. Dan akhirnya nguping yang tadinya ngga sengaja itu telah membuatku memasang kedua  telinga ini baik-baik untuk terus menyimak setiap obrolan mereka.

Stigma negative tentang nguping dan larangan terhadapnya aku kira sudah tidak tepat saat itu. Baik dan buruknya nguping itu pada akhirnya kondisional. Untuk hal-hal positive dan menambah pengetahuan atau merangsang kita untuk berpikir kritis aku kira bisa jadi bahan pertimbangan.

"Lalu menurutmu pertanyaan seperti apa untuk memastikan lurus tidaknya tauhid seseorang?" Giral menyahut.

"Aku kira teramat banyak pertanyaan lanjutan untuk keperluan itu, misalnya dengan Allah yang kamu sembah itu yang bagaimana, Allah yang seperti apa?. Dan atas pertanyaan demikian itu, jawaban seseorang bisa untuk melihat dan memastikan kelurusan akidahnya. Nah sekarang, misalnya kamu ditanya demikian apa jawabanmu?" Adhoen melempar pertanyaan setelah memberikan contoh anak pertanyaan yang ia maksud.

"Sebentar, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku teringat kata ustadz di kampungku bahwa meski pertanyaan Siapa Tuhanmu itu mudah untuk dijawab saat ini namun tidak demikian ketika nanti di barzah. Ketika hidup kita habis dengan kesia-siaan apalagi banyak maksiat yang kita lakukan maka jawaban simpel pun seperti Tuhanku Allah  akan terlupa, tidak bisa kita menjawabnya. Kita menjadi seperti terlupa akan Nama itu." Kata Giral menanggapi.

"Ah saya kok kurang sepakat dengan pendapat demikian, boleh ya. Karena sepenggal kata itu tentu masih bisa kita ingat meski dalam ketakutan misalnya. Mungkin, iya mungkin kedahsyatannya situasi saat itu mempengaruhi juga sih. Tapi aku tetep berkeyakinan bahwa telisik itu akan dilakukan. Nah jawabanmu atas pertanyaanku tadi gimana, mumpung saat ini ngga sedang dalam ketakutan khan heheh". Adhoen masih bersikukuh dengan pemikirannya.

"Baiklah akan aku jawab." Kata Giral dengan yakinnya. Lalu katanya:

"Kalau aku akan jawab begini, Tuhanku adalah Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang satu-nya itu bukanlah bilangan. Allah Subhanahu Wa Taala yang berdiri sendiri, yang tidak ada sekutu baginya. Allah yang tidak bisa diserupakan dengan apapun, dengan seluruh makhluk ciptaannya. Allah yang tidak bisa digambarkan, Allah yang tidak bisa dibayangkan seperti apa akan halnya. Allah yang maha tidak terbatas baik oleh ruang dan waktu, karena keterbatasan hanya dimiliki oleh mahluk. Allah yang tidak bisa jari ini ditujukan oleh karena yang demikian itu juga sebuah keterbatasan. Tentu kamu juga ingat dengan "Kemanapun kamu menghadap disitulah Wajah Allah" khan Dhoen?". Setelah menyelesaikan kata-katanya itu, Giral menoleh ke arahku. Nampaknya dia baru sadar bahwa ada orang lain yang sangat mungkin mendengar seluruh isi diskusinya. Dengan agak canggung dia berucap kepadaku:
"Maaf mas telah mengganggu anda dengan berisiknya kami ini. Jadi ngga bisa istirahat ya. Maaf maaf". 

"Oh ngga masalah mas, kalau boleh aku bilang, diskusi kalian ini sungguh menarik dan aku demen dengan yang beginian. Aku malah lupa ama capek dan ngantukku. Aku cukup bergembira ketemu sama kalian berdua. Ah boleh dong kita kenalan?!." Aku menanggapi permintaan maafnya sekaligus berkenalan dan ingin tahu lebih banyak lagi tentang mereka dengan kegiatannya. Tentang diskusi-diskusi yang barangkali aja sering mereka lakukan.

Belakangan aku ketahui bahwa mereka, Adhoen dan Giral ini punya semacam forum diskusi di sebuah bilangan di Ibukota, dan nampaknya mereka tinggal di daerah yang sering terdampak banjir.

"Lho mas bukannya daerah situ sering kena banjir?" Kataku ingin memastikan setelah ia menyebut sebuah nama tempat.

"Iya mas, kita nunggu terobosan pemprov DKI untuk menyelesaikan banjir tanpa "melawan" Sunnatullah. Pingin tahu bagaimana caranya memasukkan air kedalam tanah dan tidak memompanya ke laut. Heheheh. Keknya Pak Anies pas kampanye itu sedikit lupa kalau laut itu permukaan airnya dijadikan referensi untuk mengukur ketinggian sebuah dataran. Yang dalam pengertian lain maka laut, permukaan airnya diasumsikan sebagai level terendahnya. Nah air mengalir itu bawaan alamnya atau sunnatullahnya akan mengalir dari permukaan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Dari dulu juga air sungai itu dari gunung dan sumber mata air mengalirnya ya ke laut sebagai muara akhirnya." Kini giliran si Adhoen yang nyerocos sampai tentang sungai segala. Dan itu bikin kita bertiga ketawa-tawa. Hahahaha. Aya aya wae. Aku meneruskan kata-kataku:

"Eh tentang diskusinya tadi, aku juga punya pemikiran yang sama. Pertanyaan lanjutan sebagai alat telisik itu sangat logis dan perlu bisa saja malah harus, mengingat ada banyak pemahaman tentang Tuhan yang ditulis dalam artikel baik panjang atau pendek, yang jika kita cermati ada kesalahan fatal disitu, dan parahnya banyak di-share di forum-forum media sosial seperti WAG, FB dll. Rame banget dan banjir jempol. Banyak yang suka karena untaian kalimat-kalimatnya begitu apik dan menyentuh. Sebentar mas aku cariin deh postingan yang rame di-share itu, belum aku hapus keknya". Lalu kucarilah chat WAG dan aku angsurkan smartphone kawak-ku kepada mereka.

"Wah ini fatal sekali!, bisa-bisanya Allah dibayangkan berdiri dengan gagah di depan kita ketika duduk diantara dua sujud!" Seru Adhoen dan Giral hampir berbarengan ketika mereka sampai pada salah satu point pada postingan itu.

"Nah pemahaman macam itu sangat perlu diklarifikasi pada masanya nanti khan sekaligus sebagai alat uji kebenaran atas pemahamannya itu. Aku bilang 'pada masanya nanti' karena saat ini pun ketika kita misalnya berdiskusi dengan orang yang berpemahaman demikian belum tentu bisa menerimanya karena mereka bersandar pada riwayat yang notabene-nya juga ada meski riwayat itupun jika secara konten masih bisa diperdebatkan regardless atas status riwayatnya lho". Kataku ikut menambahi.

"Yap. Udah selayaknya memang kita kudu berhati-hati terhadap posting-an yang nyerempet-nyerempet 'bahaya' karena bisa saja terjebak dan ikutan pada alur pemikirannya. Insya Allah aku ngga akan terpengaruh tetapi kadang merasa gelisah dengan adanya shared semacam itu yang jadi viral. Jika ternyata pemahaman demikian itu tidak tepat, khan sama aja dengan kita mengetahui tersebarnya kekeliruan fatal sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekedar menghambatnya misalnya". Kini Giral yang terlihat tepekur setelah mengakhiri kata-katanya.

Sang waktu memang sungguh kejam. Disiplinnya untuk terus bergerak tanpa mengenal diam itu meninggalkan apa saja dan siapa saja tidak peduli dengan segala urusannya.

Perbincangan yang semestinya masih bisa berlanjut itu terpaksa harus berakhir pula. Kamipun berpisah untuk menyongsong rencananya masing-masing. Keinginan saling bertukar pikiran pada waktu dan kesempatan lain, membuat memori internal hape kami bertambah beban dengan nomor-nomor kontak baru.
Selamat jalan kawan moga sang kejam itu memberi kesempatan buat kita.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!