To Be A Better Man

Agak kaget juga ketika pagi itu, di tempat para ahli hisap alias smoking shelter berbentuk octagonal milik maintenance department -salah satu tempat merokok favorit saya- mendengar obrolan yang nggak terlalu panjang namun ciamik punya. Apa itu? Lesson Learnt dari adanya pandemi Covid-19 yang telah berimplikasi pada banyak hal ini.

Awalnya saya bersendiri saja di ruangan bercat putih kusam itu. Dan memang saya selalu mencari waktu dan tempat yang relatif sepi ketika pingin sebats -istilah milenialis untuk udud- karena beberapa alasan. 

Pertama -dan ini yang paling utama- untuk mendapatkan tingkat kekhusyu'an dalam merokok. Halah!. Tapi memang bersendiri sambil nyebats itu waktu yang paling afdhol untuk bermain-main dengan pikiran. Untuk berfiksi-fiksian dalam makna positifnya seperti penjelasan Bung Rocky Gerung tempo hari di acara talk show-nya Bung Karni Ilyas kalau ngga salah ingat. 
Atau berkelana membongkar memory mencoba mencari part-part yang terlewat, semacam kontemplasi ringan-ringanan. Yang beginian pun, untuk hal-hal tertentu, terkadang bisa mendatangkan genangan hangat pada pelupuk mata. Mulane yo pancen kudu dewekan hehehe. 
Nek cara londo-ne ki disebut 
Shame: a painful emotion caused by conciousness of guilt, shortcoming, or impropriety [Merriam Webster Dict.] 

[di-Jawa-kan] Tuwuh rasa nggêtuni, sêdih kêranta-ranta amêrgo ngrumangsani yen ana perangan kang luput, ana perangan kang nora samêsthine den tindakake wêkasan anjalari anane kêdadeyan kang nora kêpenak/nora den karêp lan pingini.

Berikutnya, adalah ketajaman aroma khas tembakau nusantara yang dikemas menjadi rokok kretek andalan nasional itu ternyata banyak yang ngga bisa menerimanya. Mereka-mereka para penggemar rokok putih ala-ala amrik itu merasa terganggu dengan kepulan asap si kretek. Pernah suatu ketika malah ada yang nyodorin sebatang putihan buat gantiin kretek saya yang ukuran kebakarnya tengah asyik-asyiknya. Karena saat itu agak jengkel, saya bilang aja "Maaf tenggorokan saya gatal kalo ngerokok yang gituan". 

Dan karena saya tak ingin mengurangi kenyamanan sesama ahli hisap, ya sudah "biarlah aku yang mengalah", seperti penggalan lirik lagu Salah Menilai-nya Mayang Sari yang sudah jadul itu. Ya karena mereka memang salah dalam menilai kretek kita. Mereka, sudah pasti, tidak pernah mengerti (bahkan orang-orang kita sendiri juga). Bahwa dalam merokok kretek kebanggaan nasional kita itu ada sisi perjuangannya yang kalau dikerenkan istilahnya, ada nilai heroiknya. 

"Masa sih?".

Perjuangan dalam melawan niat jahat dari para raksasa tembakau multi nasional yang ingin melantakkan kretek kita itulah point pentingnya. Mereka menggandeng banyak pihak untuk memuluskan keinginannya. Mereka ingin menguasai lalu membuat aturan dan tata niaga yang akan banyak merugikan kita. 

So, melawan mereka menjadi penting, karena kita tahu betul bahwa di belakang industri kretek dan pertembakauan kita itu ada rangkaian roda ekonomi rakyat kecil yang jumlahnya jutaan orang -petani, bakul mbako, buruh pabrik- dimana mereka menggantungkan periuk nasi dan harapan hidupnya pada rantai usaha ini. Oleh karenanya harap sudilah mengerti wahai tuan dan puan yang budiman, serta para agamawan salih yang telah mendalilkan keharaman rokok dengan segala qiyas-nya itu. Bahwa ada sesuatu yang juga sangat penting yang mesti jadi bahan pertimbangan karena ianya tidak bisa dinafikan begitu saja.

Kembali ke awal cerita. Baru beberapa kali hisapan dan belum sempat saya memulai pengelanaan pikiran seperti biasanya, masuklah seorang bule South African, Instrument Supervisor HDPE plant, yang menyapa dengan basa-basi normalnya, "Hello good morning". Lalu dengan electric lighter yang terpasang di salah satu tiang smoking shelter itu dia menyalakan rokok putihnya. 

Tak lama berselang, seorang Saudist rekan satu departemennya si Bule datang menyusul dan langsung menyulut rokoknya yang juga berjenis putihan. Belum beranjak dari electric lighter itu, si Saudis telah dilempar pertanyaan oleh si Bule, apa tanggapannya seputar kondisi terakhir terkait wabah.

"Sangat buruk". Setelah duduk dan mengepulkan asapnya dia melanjutkan;

"Tapi ada lesson learnt yang sangat penting yang bisa saya petik. Bahwa selama ini saya terlalu banyak membelanjakan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Saya terlalu banyak keinginan yang menghabiskan banyak waktu dan juga biaya, yang semuanya itu sebenarnya nothing. Adanya pembatasan-pembatasan, seperti jam malam, larangan berkerumun dan anjuran tegas untuk stay at home itu telah membuat saya menyadari semuanya. Saya saat ini hanya keluar rumah untuk hal-hal yang sifatnya memang urgent, seperti belanja bahan makanan yang hanya butuh waktu sebentar. Atau sesekali keluar beli kopi kesukaan saya dan isteri ke Starbuck hanya lewat drive through yang hanya butuh waktu satu jam saja. Dan itu ternyata bisa saya lakukan. Andai kesadaran demikian ini datang lebih awal sekian tahun lalu misalnya, saya pasti sudah punya deposit yang jumlahnya lebih dari cukup. Bonus tahunan saya tak akan pernah tersentuh sama sekali. Karena kalau dicermati senyatanya kebutuhan hidup kita itu bisa sangat sederhana. Banyak keinginanlah yang membuatnya menjadi rumit".

"Exactly exactly". Dengan kata-kata ini si Bule beberapa kali menanggapi di sela-sela cerocosan si Saudis. Dan ketika satu batangnya telah tandas, si Bule beranjak meninggalkan ruangan. 

Semula saya mengira si Saudis akan segera pergi juga karena saya lihat bara api rokoknya hampir membakar gabus filternya. Namun sesaat "Sreeettt" dan satu batang lagi ia keluarkan dari bungkusnya. Dengan sisa bara api yang masih memerah di ujung rokok lamanya itu ia memulai dengan yang baru.

"Saya sangat senang mendengarnya dan tentu sepakat tentang lesson learnt itu. Ada satu yang cukup menarik ketika kamu bilang hanya belanja kebutuhan bahan makanan seperlunya. Karena ini mengingatkan saya pada banyak orang yang melakukan panic buying dengan membeli banyak jenis bahan dalam jumlah yang sangat banyak pula". Saya mencoba membuka percakapan setelah sebelumnya hanya manggut-manggut mengiyakan.

"Ya, memang benar itu, ada banyak orang melakukannya. Malah ada teman saya yang baru punya anak satu saja saya lihat banyak banget belanjaannya. Mestinya ngga perlu seperti itu biar stock terjaga, karena kita perlu juga memikirkan kebutuhan orang lain". Dia menanggapi yang diikuti dengan sebuah pertanyaan "Eh namamu siapa?".

"Nama saya Didik dari Indonesia". Saya jawab sambil memperlihatkan nama yang tertulis di baju seragam.

"Saya pernah berkunjung ke Indonesia dan tinggal beberapa hari di sebuah desa. Saya lihat kehidupan mereka sederhana, seperlunya dan nampak sangat nyaman, tidak banyak keinginan seperti orang kota pada umumnya".
Belum sempat saya klarifikasi desa di daerah mana yang ia maksud, ia keburu pergi meninggalkan ruangan setelah mematikan rokoknya. 

Ini cukup menarik dan saya juga pingin tahu kapan dan ada dimana desa itu, mengingat saat ini telah banyak yang berubah. Penduduk desapun telah banyak yang bermetamorfosa pola pikir dan hidupnya laiknya penduduk kota. Adalah gempuran teknologi informasi yang telah berkembang sedemikian rupa ini yang telah banyak berpengaruh hingga ke pelbagai pelosok negeri yang ianya hampir tak mengenal strata sosial/ekonomi.

Dan sisa bara api rokok yang hampir menyentuh ujung gabus itu akhirnya saya matikan pada timbunan pasir di asbak raksasa yang berada di tengah-tengah ruangan. 

Memang, selalu ada sisi menarik yang bisa diambil dari setiap kejadian. Dan biasanya peristiwa pahitlah yang sering bisa dijadikan bahan interospeksi, karena konon, kesenangan atau yang enak-enak serta nyaman itu sering kali melenakan hingga hilang kewaspadaan. Barangkali memang pandemi Covid-19 ini sebuah paksaan bagi kita untuk membuat banyak adjustment dalam menjalani hidup kita. Kita telah dipaksa oleh keadaan untuk berbenah, bersiap untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bakal ada. 

To be a better man (atau to be a better human biar tidak terkesan pilih-pilih gender), penggalan lirik yang saya ambil dari lagunya Robbie Williams ini adalah sebuah harapan untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan semoga bisa menjadi kenyataan selama dan setelah pandemi Covid-19 ini bisa kita lewati bersama. 

Akhirnya, kita gantungkan semua harapan itu kepada Sang Khalik setelah, yang tentu saja,  berbagai usaha riil telah kita lakukan dengan sebaik-baiknya.

Sebagai penutup, bolehlah kita simak lirik lengkapnya berikut ini

~~~~
Better Man 
(Robbie Williams)

Send someone to love me
I need to rest in arms
Keep me safe from harm
In pouring rain

Give me endless summer
Lord I fear the cold
Feel I'm getting old
Before my time

As my soul heals the shame
I will grow through this pain
Lord I'm doing all I can
To be a better man

Go easy on my concious
Cause it's not my fault
I know I've been taught
To take the blame

Rest assured my angels
Will catch my tears
Walk me out of here
I'm in pain

As my soul heals the shame
I will grow through this pain
Lord I'm doing all I can
To be a better man

Once you've found that lover
You're homeward bound
Love is all around
Love is all around

I know some have fallen
On stony ground
But love is all around
~~~~


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!