Terkotak Dalam Perbedaan

Apa yang dulu pernah saya alami di masa-masa usia sekolah itu ternyata perwujudan kecil skala kampung dari mendunianya pergulatan seru atas perbedaan pandangan theologis. Ya, ianya adalah gambaran faktual dari dinamika yang nampaknya tak pernah akan lekang oleh waktu dan terus berlangsung, terwariskan generasi ke generasi selama keberadaan makhluk hidup yang namanya manusia itu ada.

Saat itu, dengan usia yang baru sekitaran delapan tahun, saya memang belum cukup umur untuk mengerti secara terang apa yang sebenarnya telah terjadi dengan orang-orang dewasa dan rasa-rasanya cukup berilmu di lingkungan yang saya tinggali itu. Hingga akhirnya sekelompok orang memutuskan untuk membangun mushola kecil yang kita sebut sebagai langgar, berjarak kurang dari 100 meter ke arah timur dari masjid yang sudah ada dan terbilang cukup besar.

Kepingan yang masih saya ingat betul adalah ketika ikut kerja bakti mengangkut material wakaf dari desa sebelah berupa batu bata, kayu dan genteng sebagai bahan tambahan untuk pendirian langgar.
Dengan hanya satu gerobak dorong dan beberapa kali unjalan akhirnya semua material wakaf berpindah tempat. Lalu, di sepetak tanah depan rumah milik seorang yang cukup berpengaruh dan terpandang itu akhirnya berdirilah langgar dimana pada hampir setiap waktu sholat saya dan kawan-kawan sepermainan datang untuk berkegiatan dan memakmurkannya.

Kegiatan di langgar baru itu terbilang rêgêng melebihi masjid. Mulai dari sorog-an atau semak-an bacaan qur'an satu persatu oleh senior atau mentor, belajar tata cara sholat berikut praktiknya dan banyak hal lain hingga ada satu yang spesial yang kegiatan itu tidak ada di masjid yaitu acara mukhadarah setiap malam senin sebagai sarana belajar menjadi pembawa acara dan pembicara.

Ketika hari-hari besar Islam tiba, perayaannya selalu meriah. Rumah induk dengan halaman dimana langgar itu berdiri menjadi sentra kegiatan.
Malam harinya ada pertunjukan koor dan kasidah dari remaja setempat dilanjutkan dengan ceramah agama yang diisi oleh penceramah dari luar yang berkaliber kecamatan. Dan helatan itu dihadiri oleh hampir segenap warga kampung.
Di keesokan harinya ada lomba-lomba dan atraksi hiburan yang melibatkan anak-anak, para remaja dan dewasa. Dan sudah barang tentu sebagai kanak-kanak saat-saat seperti itu jelas-jelas saat yang menyenangkan dan mengenangkan.

Setelah beberapa tahun berlangsung, kemeriahan hari-hari besar itu mendadak hilang. Tidak ada lagi acara-acara hiburan yang ditunggu-tunggu. "Ah barangkali para senior sebagai motor penggerak acara pada sibuk". Demikian kira-kira gumaman kami saat itu. Namun senyatanya penantian dan harapan itu hanyalah kekosongan belaka, karena pada tahun-tahun yang bersusulan mengikutinya pun tidak pernah berbeda. Kehilangan. Ya, ada rasa itu yang tersimpan di bilik hati dan tak berjawab hingga berbilang tahun.

Seiring waktu berjalan, seiring pula dengan bertambahnya apa yang saya ketahui, adalah cerita tentang TBC alias takhayul, bid'ah dan churafat. Yang mana, rupa-rupanya part ini yang menjadi salah satu sebab yang paling kuat diantara sebab lain, mengapa ke-berkubuan itu terjadi.

Adalah pemurnian -demikian yang biasa dikatakan orang- dengan kembali pada tuntunan yang dicontohkan oleh kanjeng Nabi SAW dan para Sahabatnya -yang tertuang dalam teks- merupakan cara yang benar untuk berpraktik agama dalam kehidupan keseharian. Sehingga apa saja di luar itu (termasuk 'tradisi' yang berkembang di masyarakat) hal yang harus dihindari. (Catatan: Meski untuk hal-hal inipun pada akhirnya masih sangat bisa diperdebatkan. Pasalnya, ulama-ulama yang mumpuni keilmuannya pun masih ber-ikhtilaf atasnya)

Bermula dari yang -menurut saya- sangat 'simpel' yakni hilangnya lantunan puji-pujian di antara adzan dan iqamat selama menunggu imam sholat datang. Hilangnya praktik dzikir berjamaah yang bersuara atau di-jahar-kan setiap ba'da shalat -yang dengannya, kami sebagai kanak-kanak bisa belajar secara langsung- berganti dengan dzikir pribadi (infiradhi) yang sirr, sunyi sepi. Hinggalah terbitnya rasa ewuh-pêkewuh (kalau tidak boleh dikatakan takut) dari sebagian warga yang ingin mengadakan acara selamatan untuk orang tuanya yang sudah meninggal. Dimana untuk urusan itu mereka harus rela menyingkir ke tempat saudaranya yang tinggal di kampung lain.

Tak dinyana memang, pada usia yang masih terbilang dini itu ternyata saya telah disuguhi dan dipaksa keadaan untuk belajar dan bahkan ikut terlibat pula di dalamnya. Belajar tentang adanya perbedaan penafsiran agama yang sulit untuk dilepaskan dari yang namanya klaim-klaim kebenaran sepihak. Kebenaran tafsiriyah yang berangkat dari pandangan subyektifitas individu ataupun kelompok. Yang di dalamnya tidak jarang terbumbui pula oleh semacam unsur kebencian meski samar dan terselubung.

Saya masih ingat 'keisengan dan kenakalan' beberapa senior ketika memasang Toa langgar itu, sambil terkekeh mereka mengarahkannya ke arah barat yang secara tidak langsung bisa bikin noise alias mbrubeni/mbrubêgi jamaah masjid. Saya masih ingat pula beberapa narasi miring yang saat itu punya pengaruh pada sikap, anggapan dan pandangan saya terhadap kelompok yang berbeda. Lalu seperti yang sudah jamaknya terjadi -bahkan hingga hari ini- terbitlah ungkapan "Kamilah yang masih lurus itu!". Maka benarlah kata orang bahwa lingkungan di mana kita berinteraksi di dalamnya itulah yang akan ikut pula mengajarkan.

Namun saya hanya merasa sedikit beruntung bahwa pada jenjang-jenjang berikutnya saya tidak bersekolah pada institusi yang terafiliasi pada ormas tertentu -apalagi partai- yang berpotensi memberi warna tertentu pula. Pun juga pada jenjang itu belum ada kegiatan semacam rohis yang kuat dalam doktrinalnya dan marak seperti saat ini. Sehingga 'modal' awal itu tidak pernah mengental sehingga membuat lebih bebas dalam berpikir. Meski yang sedemikian itu pun punya potensi kekurangan yakni bisa terjebak pada pemikiran ultra bebas alias liberal.

Lagi-lagi memang harus banyak bersyukur. Ketika interaksi berlanjut -baik saat masih di kota yang sama maupun saat kuliah di Surabaya- dengan beberapa pihak yang ternyata terafiliasi dengan gerakan keras yang menghujat banyak hal tentang Ke-Indonesia-an dengan segala yang ada di dalam sistim-nya itu, saya masih bisa membuat pertimbangan yang logis untuk memberi jarak yang cukup.
Kekeliruan-kekeliruan fatal menurut pendapat dan temuan mereka dalam bernegara. Atau bentuk-bentuk euforia dan romantisme akan masa lalu, yakni khilafah, yang mereka yakini bisa menjadi semacam obat generic dari seluruh masalah di negeri ini sebagaimana yang sering kali mereka suarakan itu tidak cukup kuat mempengaruhi pandangan saya. Karena saya masih tidak ingin terjebak dalam sikap menyalahkan ijtihad para ulama besar pendahulu yang ikut membidani kelahiran negara dengan bentuk yang telah dipilihnya ini.

Keterbelahan, jika kata ini boleh dipilih, senyatanya bukan lagi melulu tentang bid'ah dalam lingkup ibadah melainkan telah masuk pula pada bidang politik praktis. Perbedaan pandangan mengenai bagaimana sebuah negara itu harus dijalankan sepertinya memang belum benar-benar bisa berakhir dengan hasil kesepakatan masa lalu ini. Masih ada pihak-pihak yang belum bisa menerima sepenuhnya.

Saya masih ingat ketika salah satu senior saya yang seorang pengajar itu punya pandangan yang kontra produktif dari sudut pandang nasionalisme. Entah dia dipengaruhi atau berafiliasi pada organisasi atau kelompok tertentu atau murni pandangan dan pemikirannya sendiri, dalam menjalani profesinya itu tidak jarang pada kesempatan tertentu, dia memasukkan corak pandangan dan pemikirannya dalam beragama sekaitan dengan kenegaraan. Saya kira apa yang coba dia lakukan terhadap anak didiknya -apapun alasan yang mendasarinya- itu semacam indoktrinasi meski dalam lingkup kecil namun punya potensi melekat dalam benak sebagian pendengarnya dan bisa menjadi bekal menuju pemikiran yang radikal dan kontra produktif dalam konteks bernegara.

Mengetahui hal itu, saya terkaget-kaget dan agak blangkêmên alias tidak bisa berkata apa-apa. Hanya yang terpikir adalah akan repot jadinya kelak jika ada banyak yang melakukan hal yang sama. Bangku sekolah yang semestinya sebagai tempat awal menanamkan kecintaan pada negeri itu bisa bergeser menjadi persemaian bibit-bibit yang tidak 'benar'. Sekolahan memang bisa menjadi ladang subur untuk tumbuhnya pergerakan dimulai dari usia dini. Saya kira tugas dan peran para pengemban dunia pendidikan itu menjadi point yang krusial dalam kaitan dengan kebangsaan dan kenegaraan. Apakah telah mendesak untuk dilakukan pembenahan yang lebih baik? Tentu.

Kembali pada kisah kampung, pernah saya memimpikan bahwa suatu saat nanti keterpisahan oleh sebab perbedaan itu bisa terdamaikan. Namun harapan itu berakhir manakala pada suatu hari, saya -dan beberapa kawan yang merantau di berbagai tempat- menerima proposal pengadaan dana pembangunan masjid baru sebagai pengganti langgar kecil itu. Dan mimpi saya itu telah menemui akhir jalan ceritanya.

Dari lingkup kecil itu saya akhirnya bisa mengerti bahwa ada banyak hal yang tidak bisa didamaikan. Tidak saja dalam hal perbedaan fikih dan tafsir terhadap agama, tetapi ada pula urusan ego di dalamnya. Saya jadi mengerti pula bahwa individu-individu kuat -yang merasa punya kemampuan dan ilmu yang lebih dari yang lainnya- yang ada di suatu tempat atau organisasi atau apapun itu, butuh media atau sarana untuk menunjang existensinya. Mereka merasa yang harus menjadi figur sentralnya dan bukan hanya menjadi figuran yang perannya tidak penting dan tidak terlalu kelihatan. Sehingga meleburkan diri dalam sebuah wadah sedemikian rupa itu menjadi beban yang teramat berat. 

Oleh karena hal yang demikian itulah maka bukan menjadi barang aneh ketika kita saksikan, misalnya, beberapa tokoh dalam perpolitikan kita membentuk partai-partai baru meski partai yang ada jumlahnya sudah tak bisa diwakili dengan jemari kita.
Barangkali mereka merasa tidak bisa leluasa berkontribusi mendarma-baktikan hidupnya jika tetap berada dalam lingkungan yang sama. Ide-ide cemerlangnya tidak akan terakomodasi dengan baik, barangkali.

Ngelantur kemana-mana?

Baiklah, saya sudahi dan tutup tulisan ini dengan sebuah keluhan lagi.
Bahwa pengajaran sejak dini dalam lingkup terkecil -keluarga dan atau lingkungan tempat dimana kita tumbuh- tentang adanya ikhtilaf itu tidak pernah dilakukan secara komprehensif oleh orang-orang yang sebenarnya bisa melakukannya. Kita seringkali hanya beroleh kulit-kulitnya saja tanpa pernah diberikan pemahaman yang lebih dalam. Pembelajaran tentang adanya mazhab-mazhab dalam agama serta pemikiran-pemikiran yang ada di dalamnya itu tidak pernah terberikan dengan baik. 
Tidak ada penjelasan yang gamblang tentang apa dan bagaimana, misalnya, Mu'tazilah, Asy'ariyah, Jahmiyyah, Shufiyah dan lain sebagainya itu melainkan hanya sebuah seruan; 
"Hati-hati dengan mereka karena telah keluar dari manhaj yang benar". 

Atau malah larangan;
"Jangan kalian belajar tentang mereka dan dekat-dekat dengan mereka nanti malah terpengaruh dan keluar dari manhaj yang sudah benar". Kalau nuruti yang begini mandeklah sudah kita dibuatnya.

______

Mari Bercerita Saja (5)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!