Betapa Dalam Beragama Itu Bukan Perkara Mudah

Gus Mus dalam sebuah tausiahnya mengatakan kalau beliau pernah berandai-andai, alangkah enaknya jika hidup pada masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Bagaimana tidak!. Kita bisa melihat Al-quran berjalan, bisa merujuk langsung pada sang pembawa risalah, merujuk dengan tidak ada bias sedikitpun tentang apa saja yang kita ragu, perselisihkan ataupun sangsikan. Bukankah Nabi dan segala yang beliau lakukan adalah wujud dari ilmu dan ahlak Al-quran?.

Namun sejurus kemudian Gus Mus membantahnya sendiri, jangan-jangan dengan watak dan kelakuan kita seperti saat ini, boro-boro menjadi pengikut setia dan taat sama kanjeng Nabi, boleh jadi -ini yang amat sangat dikhawatirkan- malah menjadi bagian dari rombongan para pengingkar dan penentang Beliau!.

Mirip dengan apa yang disampaikan oleh Gus Mus, pernah sekali waktu saya juga berandai-andai demikian.
Apakah seandainya saya hadir pada masa-masa itu, saya akan sanggup berdiri tegak di barisan kanjeng Nabi?. Sementara kerasnya situasi pada masa itu, perlawanan sengit dan permusuhan yang digalang sungguh luar biasa dengan barisan tokoh-tokohnya yang karismatik dan berpengaruh pada masa itu ada di seberang Rasul?.
Dan bukankah telah banyak terbuktikan bahwa dalam beberapa scene perang yang telah terjadi itu betapa permusuhan mereka begitu sengitnya?. Belum lagi melihat jumlah pasukan yang saling berhadapan itu dalam perimbangan yang sama sekali tidak berimbang?. Masih ditambah lagi adanya sekelompok orang munafik yang ada pada pasukan Rasulullah SAW?. Alangkah beratnya kondisi yang seperti itu.

Berandai-andai itu masih berlanjut. Bagaimana pula jika saya berada pada masa-masa sepeninggal Nabi yang biasa pula disebut masa sahabat yang diyakini sebagai salah satu dari masa-masa terbaik dari ummat Muhammad SAW. Apakah saya masih bisa berada pada pilihan yang benar sementara banyak fitnah dan perselisihan terjadi diantara kaum muslimin sendiri.
Jika pada masa kenabian yang masih ada penjamin kebenaran mutlak saja kita bisa cemas dan sangsi, bagaimana dengan kondisi sepeninggal Beliau dimana -sebagaimana yang diyakini sebagian besar kaum muslimin- sudah tidak ada lagi sosok yang ma'shum sebagai jaminan kebenaran mutlak? Apakah tidak muncul peluang besar untuk turut menyempal sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal sangat saleh itu, Khawarij?.

Saya lalu merasa sangat bersyukur hanya terlahir dan hadir dari dan di tengah situasi yang saya kira tidak sekeras dan sedahsyat masa-masa yang telah lewat itu. Atau karena saya juga beruntung dikarunia hidup di Indonesia yang mayoritasnya muslim sehingga saya tidak mengalami berbagai hal sulit (menderita) sebagaimana yang dialami saudara muslim saya di belahan dunia lain?. Dan tentang yang inipun saya harus bersyukur bahwa di negara kita ini meski tidak mengadopsi seluruh aturan dan tata kelola negara yang fully islamic seperti yang sering dikeluhkan oleh beberapa kelompok yang bahkan tidak jarang melabeli negara ini sebagai thoghut, walau pada kenyataannya saya bisa menjalankan semua yang terkait dengan peribadatan saya dengan tenang. Negara telah pula mewadahi, memfasilitasi apa saja yang terkait dengan kepentingan peribadatan yang harus melibatkan institusi negara, semisal umroh dan haji. Syukurnya saya atas karunia negeri yang sedemikian ini sebagai bentuk penghindaran diri dari label buruk yaitu kufur nikmat.

Saya juga merasa beruntung dan lagi-lagi harus bersyukur meski hadir pada masa yang telah begitu jauh dari Baginda Nabi SAW namun masih tersentuh oleh Cahaya Kerasulannya.
Memang, di balik semua itu ada tantangan yang sangat besar dan tidak mudah bagi saya dan kita semua untuk bisa menentukan pilihan yang tepat dan benar oleh karena saat ini ada berbagai macam tafsir dan interpretasi dalam hal keberagamaan kita yang sudah sedemikian banyak dan sangat variatif. Bagi saya pribadi banyaknya varian itu tetap saja memusingkan meski banyak yang menganggap sebagai kekayaan khasanah dan pilihan dalam Islam.

Dalam beberapa kesempatan --atas dasar permasalahan itu-- saya mencoba untuk kontemplasi (ah barangkali belum pula cukup untuk dibilang begitu karena saya melakukannya tidak secara penuh). Lalu bermunculanlah pertanyaan-pertanyaan yang boleh jadi tak berjawab. Atau barangkali tak kuasa memberi jawab oleh karena berbagai alasan, yang salah satunya --menurut apa yang saya lihat, rasakan dan alami-- adalah rasa takut yang membelenggu. Apa sebenarnya yang membuat kita merasa takut itu? Sila digali dan dicermati lalu jawablah sendiri.

Ada beberapa yang masih sering berseliweran di kepala, apa dan bagaimana muasalnya dari yang semula hanya satu sumber dan pemahaman lalu bisa (pecah) menjadi berbagai golongan/kelompok pemahaman dan pemikiran yang sedemikian rupa ini?.
Mengapa mereka para pendahulu kita itu bisa sampai pada suatu kondisi argumentatif yang tajam bahkan pernah pada suatu ketika mereka berhadap-hadapan satu sama lain dan dalam semangat saling menihilkan (untuk tak menyebut sebagai saling bunuh)?.

Kalau kita coba cermati dari tarikh yang ditulis para sejarawan itu, kiranya ada beberapa hal yang sangat menarik untuk di-listing up. Adalah adanya godaan pada politik praktis. Megahnya tampuk kekuasaan. Mewahnya berlaku sebagai sang pengatur urusan. Manisnya hegemoni klan dan kelompok atas kelompok yang lain berikut segala sumber dayanya. Dan masih berderet alasan-alasan lain hingga sampai pada adanya perbedaan tafsir agama sebagaimana yang di-representasi-kan oleh kaum khawarij itu, telah menyeret para pendahulu itu saling bertikai.

Kita yang hadir belakangan pada akhirnya dipaksa mewarisi kesemuanya itu hingga telah membuat banyak hal menjadi tidak mudah. Betapa dalam keberagamaan kita itu senyatanya bukan sebuah perkara yang mudah. Dibutuhkan usaha ekstra demi mendapatkan apa yang kita cari itu agar bisa sebagaimana seharus dan semestinya.

Dalam permusafiran ini -banyak 'ulama mensifati hidup kita di dunia ini laksana musafir- kita hanya benar-benar berharap atas taufiq dari Sang Khalik, Sang Maha Pengatur, Sang Maha Pengasih Allah SWT menunjuki Al-Shirat Al-Mustaqim.
Dan atas segala karunia yang telah ada hari ini, keadaan yang telah ditetapkanNya hari ini adalah bentuk kasih sayang dan anugerahNya. Ianya adalah rizki yang dicurahkan dengan segala Hikmah yang terkandung di dalamnya. Kata rekaan kita tak akan pernah mencukupi untuk ekspresi rasa syukur, kecuali Hamdalah. Alhamdulollahirobbil'aalamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!