Andai Bisa Diam

Tempo hari dalam percakapan WA grup sekolah saya jaman masih ingusan, salah satu kawan baik saya, Cak Igun yang praktisi dan ahli manufaktur dengan mesin perkakasnya itu menyeletuk, "Bro tak tunggu-tunggu tulisannya kok lama banget ngga muncul?".

Atas 'peringatannya' itu saya sebenarnya agak-agak merasa gimana gitu. Antara tersanjung, malu dan beberapa hal lain yang tumpang tindih. Tapi, ah ternyata kok ada yang suka dan malah menunggu tulisan saya yang sebenarnya -lebih seringnya- sebagai ungkapan dari 'uneg-uneg' yang mengganggu pikiran dan seperti biasanya hal demikian itu cukup mereda ketika diceritakan atau -dalam konteks relasi media sosial- dituliskan. Jadi seperti curhat saja sebenarnya.

Baiklah. "Tak turuti Cak, saya mulai nulis uneg-uneg lagi deh, hehehe".

Saya teringat pada ungkapan "Diam Itu Emas". Apakah benar demikian adanya?.

Dalam konteks tertentu memang iya, diam merupakan pilihan yang sangat berharga sehingga disebut bagai emas.
Dalam hubungan rumah tangga misalnya, ketika suami marah-marah lalu si isteri tidak terpancing untuk meladeninya adalah sebuah contoh sederhana dari ke-emasan dari diam itu. Karena diamnya, menahan dirinya untuk tidak terbawa situasi adalah demi terhindarnya dari kondisi yang lebih buruk. Dan ini tentu tidaklah mudah.

Dalam bentuk yang lain, saya ambil contoh kasus yang lagi heboh saat ini terkait dengan lembaga super body di negeri ini yakni KPK. Isu santer adanya upaya pelemahan terhadap KPK melalui revisi atas UU KPK itu kini melahirkan perseteruan yang hebat. Pro dan kontra, seperti biasanya yang selalu riuh dan gaduh yang ke-riuh-gaduhannya semakin menjadi-jadi ketika para buzzer dan netizen ikut ambil bagian di dalamnya. Entah itu paham betul, paham sebagian atau sebenarnya malah ngga paham blas, alias 'waton suloyo'. Ngga ambil pusing, yang penting rame.

'Keriuhan' itu normal atau malahan wajib adanya jika yang terlibat di dalamnya mempunyai kompetensi yang memadai alias memang paham betul pada permasalahan yang ada dan yang tengah terjadi. Yang memahami dengan baik isi UU yang lama dengan isi pada UU (RUU?) yang baru sehingga dengan keriuhannya itu kita bisa mendapatkan pengetahuan dan belajar banyak darinya. Dan walhasil dari keriuhannya itu pula bisa dihasilkan bentuk UU yang lebih baik.

Namun jika yang ribut, yang ber-opini liar yang di dalamnya tidak jarang memunculkan tuduhan bahkan fitnah yang di-kait-kaitkan dengan berbagai macam hal, sumpah serapah yang menjijikkan, ya sudah barang tentu menjadi keriuhan yang memuakkan. Bahkan keriuhan yang malah menyebabkan dosa saja. Iya khan?.
Nah dalam konteks atau titik inilah maka diam itu benar-benar emas.
Atau -saya jadi teringat ketika anak lelaki saya yang kelas 2 SD saat itu, sepulang sekolahnya berulang-ulang melafalkan penggalan sebuah hadits "Bicaralah yang baik atau Diam" - menjadi berpahala karena kita mengamalkan sunnah Nabi SAW sesuai dengan hadits itu.
Berangkat dari penggalan hadits dan kalimat mulia "Watawa shoubil haq" maka saya ingin mengajak untuk berhati-hati dengan lisan atau -yang dalam konteks bermedia sosial ini- jempol-jempol kita. Tak luput ajakan ini tentu juga berlaku buat saya.

Ada cerita ringan terkait dengan pernyataan yang kurang didukung oleh pengetahuan yang cukup. "Lho sik ono terusane tah? Tak kira ajakan itu sebagai penutup?!". "Hahahaa Iyo Cak, tanggung mesisan ae".

Dulu, sekira tahun kedua di Surabaya, saya berkesempatan membantu Ibu 'kulakan' pakaian ke Pasar Turi. Karena suatu hal, di hari Sabtu itu Ibu tidak bisa ke Surabaya. Lantas urusan itu diwakilkan ke saya untuk ambil dagangan ke salah satu juragan di Pasar Turi yang masih ada hubungan kerabat dari garis Ibu. Sang juragan ini, sebut saja Mbak Wien, adalah seorang ibu muda yang belum genap 40 tahun usianya. Di lingkungan rumah yang Ia tinggali yang tidak jauh dari Pasar Turi itu, keluarganya tergolong sangat mapan. Di rumahnya yang berlantai 2 dan cukup megah itu penuh dengan barang dagangan. Banyak para pedagang kecil dari luar kota yang ambil dagangan ke Mbak Wien. Ia benar-benar telah berhasil dalam perantauannya. Bisa sampai pada keadaannya ini, Ia telah melewati masa-masa yang amat sulit sejak usia dini. Sekolahnya terpaksa harus berhenti ketika lulus SD karena belitan ekonomi. Lalu bersama orang tuanya 'boyong' ke Surabaya mengadu nasib, berjuang sangat keras hingga beroleh keberhasilan yang membanggakan.

Pada kesempatan perjumpaan itu Mbak Wien nanya beberapa hal terkait kuliah di Surabaya. Barangkali karena jiwa dagangnya yang telah begitu kental, maka pertanyaannya saat itu hanya terkait dengan urusan uang. Berapa biaya kuliah, berapa biaya bulanan dan tentang expenses lainnya. Demi mendengar keterangan saya, Mbak Wien lantas berkomentar "Wah lumayan juga ya? Kalau saya bisa untuk modal usaha itu". Tanpa melihat reaksi saya yang agak kaget, lalu Mbak Wien melanjutkan kalimatnya "Ya memang nanti kalau udah lulus dan dapat pekerjaan dengan gaji yang bagus seperti Petro (Petrokimia Gresik) ya memang enak. Tapi meski gajinya gedhe, kerja di Petro itu kayak setor nyawa aja, bahaya". Saya tambah kaget. Ya sudahlah.

Nah kalimat terakhir itulah yang saya sebut sebagai pernyataan yang tidak didukung pengetahuan yang cukup. Saya sangat maklum jika Mbak Wien tidak mengetahui bahwa ada studi yang komprehensif sebelum sebuah badan usaha seperti pabrik itu didirikan dan mendapatkan ijin untuk beroperasi dari yang berwenang. Tentu dia tidak bakal tahu jika dalam menjalankan pabrik itu ada standar-standar ketat yang harus diikuti. Dan masih banyak hal lain lagi yang baginya bersifat masih ghaib, ya karena tidak tahu. Saya yakin dia tidak sendiri, karena sifat masyarakat yang dinamis sudah barang tentu cerita tidak benar itu akan tertutur-tular yang tidak bisa diketahui ujungnya.

Dalam banyak hal, model penyebaran atau penyampaian tanpa disertai pengetahuan yang benar itu juga seringkali terjadi, tak terkecuali pula dalam hal Agama. Dan yang saya sebut terakhir inilah yang paling berbahaya karena punya dampak ikutan yang sangat besar. Bukankah kita sudah terlalu sering mendengar konflik yang ada disana-sini yang berlatar sentimen agama atau keyakinan itu mempunyai efek merusak yang sangat besar?. Belum lagi konsekuensi lain yang tak kalah dahsyatnya, yaitu pertanggungan jawab kepada Sang Maha Pencipta.

Amat kebetulan sekali di saat ingin menyudahi tulisan ini, saya tertarik menonton Cokro TV yang menayangkan salah satu akademisi dari perguruan tinggi negeri ternama berbicara tentang poligami. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak menuntaskannya lantaran sudah kesal banget ketika Ia menyitir sebuah ayat lalu berusaha keras menjelaskannya berdasar kalimat-kalimat terjemahan yang ada itu. Dia tidak punya kompetensi sama sekali dengan ilmu Al-qur'an karena latar belakang keilmuannya bukan disitu dan inilah musabab kekesalan saya. Andai dia bisa diam, atau paling tidaknya bahas saja soal itu dari tinjauan keilmuannya. Saya kira akan lebih baik.

Cerita tentang apa yang ada di Cokro TV di atas hanyalah satu contoh dari bejibunnya tentang andai bisa diam ini. Kita sudah sama-sama saksikan bahwa ada banyak kasus yang tereskalasi menjadi besarnya itu oleh sebab adanya orang-orang yang enggan diam, enggan menahan diri.

Sebagai penghujung, semoga kita terhindar dan tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang berkontribusi pada kekeliruan yang berkelanjutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!