Bersaksi Dalam Syahadat (Sebuah Refleksi Bulan Juni)

Pernah suatu ketika kedua anakku yang sudah remaja bertanya tentang syahadat yang diucapkan sebagai syarat keislaman seseorang. Ikrar dan pernyataan keimanan seseorang dalam Islam. 

"Mbak, Mas, terus terang pertanyaan kalian tentang kesaksian dalam konten kalimat syahadat itu, dikatakan kita bersaksi tetapi nyatanya kita tidak pernah (bisa) melihat apa yang kita persaksikan itu secara langsung. Ayahmu juga agak kesulitan untuk menjelaskannya kepada kalian kecuali dari sisi doktrinal, dalil naqli-nya. Kalau meminta dalil aqli-nya, pembenaran rasionalitasnya, barangkali ayahmu akan bercerita saja. Apakah nanti dari cerita itu akan menjawab pertanyaannya dan apakah benar-benar sudah tidak bersifat doktrinal? Ayah juga tidak sepenuhnya yakin. Tapi berharap setidaknya ada kejelasan meski -barangkali saja- masih sangat jauh dari mencukupi".

Tentang persaksian, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al A'raf ayat 172 berikut ini

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaanTuhan)" (QS Al A'raf 7: 172) 

Ayat ini memberitahukan bahwasanya kita sudah pernah bersaksi pada alam ruh, pada alam jiwa, ketika Alloh mengeluarkannya dari sulbi orang tua kita. Maka bersaksinya kita pada hari ini menjadi semacam bentuk pernyataan pengakuan ulang, ikrar dan deklarasi ulang akan apa yang telah kita persaksikan sebelumnya pada zaman azali kita. Sehingga meski tidak melihat secara langsung maka kesaksian kita sudah memenuhi keabsahannya. Demikian pendapat ayahmu, simple.

Lain dari pada itu, sebagai hamba yang hina dina jauh dari kesempurnaan ini tidaklah mungkin di jagat materi ini kita akan sanggup melihat Alloh yang Maha Sempurna itu dengan mata kepala kita. Atau dalam pengertian yang lain, tidaklah mungkin alam benda yang ibarat fatamorgana ini jika diperbandingkan dengan Sang
PenciptanyaThe Absolute of Existence, akan sanggup menampung keberadaanNYA. 

Kisah Nabi Musa a.s. yang disebutkan di dalam Al-Qur'an tatkala beliau berkeinginan menyaksikan langsung wujud dari Allah SWT dan bagaimana cerita kesudahannya, dapat dijadikan ibrah pelajaran buat kita. 

"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" (QS Al A'raf 7:143).

Kiranya bagi kita hanyalah berharapkan kemustahilan saja untuk bisa menyaksikan langsung keberadaan Tuhan tersebab adanya segala keterbatasan itu. Dan hanyalah dengan mata bathin, mata hati-lah yang bisa digunakan untuk merasakan kehadiran Allah dalam setiap hela nafas kita. 
"Hati manusia yang mu'minlah yang sanggup menampung keberadaan Allah". Kata para alim.

Allah mengutus beberapa hamba pilihanNya, para Nabi, para Rasul, para penyeru kebenaran dan pemberi peringatan, pada setiap kurun dan masa untuk memberi kabar, mengajar, membimbing dan juga menjadi saksi bagi kita di hadapanNya kelak. Keterutusan insan-insan pilihan ini dimaksudkan untuk menjamin kesempurnaan persaksian kita, menjamin kesempurnaan tauhid kita agar kelak tidak ada alasan bagi kita atas kelalaian kita.

"Wah beruntung banget dong Yah...mereka yang hidup sezaman dengan para Nabi dan Rasul, persaksiannya sempurna karena melihat langsung UtusanNya, lalu kita?" Kata seorang dari anakku menanggapi.

Beruntung tentu sudah pasti atas karunia yang besar itu. Namun ada hal yang mesti kita ketahui bahwasanya tidak ada jaminan bagi para pendahulu yang beruntung itu bisa memanfaatkan dengan sepenuh-penuhnya kesempatan yang ada. Tidak dipastikan bahwa mereka para pendahulu itu secara keseluruhannya adalah orang yang sebenar-benar sempurna keimanannya. Apakah alasan Ayahmu mengatakan begitu, ya karena dari fakta dan realita sejarah menyatakan hal yang demikian itu. Banyak riwayat-riwayat yang menceritakan penyimpangan yang terjadi sepeninggalnya Nabi (ini terlepas apakah kita hendak mengakui riwayat itu atau tidak dengan berbagai alasannya bukan hal yang menjadi urusan kita). Nah, hal yang demikian itu -terjadinya bias pada saat itu- selalu permasalahannya kembali kepada pribadi masing-masing, dimana sebagai manusia lumrah yang juga berbekal ego yang sama dengan kita ini mempunyai kemungkinan yang sama dengan kita untuk tergelincir dan melakukan kesalahan-kesalahan. Persoalannya terletak pada hawa nafsu yang berpengaruh pada ke-makrifat-an seseorang.

Ada hal yang mesti selalu kita ingat bahwa di dalam Al-qur'an disebutkan bahwa Allah tidak pernah sekali-kali menganiaya hambanya, tidak pernah pula barang sekalipun meninggalkan hambanya tanpa ada diantara mereka para penyeru, para pemberi peringatan yang kelak akan menjadi saksi bagi kita di hadapan Allah. Seperti yang Ayah sudah sampaikan sebelumnya. Kita boleh berbesar hati dengan adanya pernyataan tersebut, yang memberi isyarat bahwa diantara kita hadir orang-orang pilihan sebagaimana yang dimaksud itu, meskipun pintu kenabian telah ditutup dengan hadirnya khataman Nabi Rasulullah Muhammad SAW. Ayah sangat yakin akan hal ini yang oleh karenanya kita dituntut untuk bisa menemukan siapa orangnya yang dimaksud itu. Usaha harus terus dilakukan dan doa harus terus dipanjatkan agar kita dimudahkan untuk bisa berjumpa dengan tokoh yang sangat penting itu.

''Iya kami paham, dengan menemukan beliau artinya kita menjadi terbimbing pada jalan yang benar, jalan yang mendapatkan ridhlo Allah"

Nah itulah. Lebih jauh lagi dari keterbimbingan yang sudah pasti akan demikian, ada hal lain yang lebih besar lagi yaitu bertemunya kita dengan beliau menjadikan persaksian kita sempurna karena beliau menjadi wakil atau pengganti kehadiran Nabi. Kita menjadi seolah-olah para sahabat yang bersaksi di hadapan Nabi. Mereka orang-orang terdahulu itu ketika berikrar melihat Nabi, sementara kita pada hari ini berikrar dengan melihat wakilnya.

"Sebentar...apakah ini bermakna bahwa orang pilihan itu harus seorang yang..."

Dari sebutanmu yang orang pilihan itu sebenarnya sudah menjelaskan bahwa beliau bukan sembarangan orang yang sesuka hati bisa dipilih berdasarkan penilaian dan asumsi-asumsi yang kita buat-buat sendiri, melainkan beliau seorang yang mengemban tugas dan amanat. Saya kira sudah cukup jelaslah, tidak perlu lagi didetilkan dengan berpanjang-panjang khan?.

''Iyaa...kita menjadi lebih paham, kita juga mengira demikian kok. Cukuplah".

Nah pada kesempatan yang sangat baik ini Ayahmu mengajak kalaian semua untuk memanjatkan puji syukur yang tak terkira atas segala karunia yang telah diberikan kepada kita. Kita harus terus berupaya dari hari ke hari untuk menjadi lebih baik lagi dan lagi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!