Sekedar Obyek Belaka?

"Mugiya kita kabeh tansah pinaringan rahayu widada lan sih kawêlasane Gusti Alloh Kang Maha Suci, kalis sakehing sambekala. Gambuh jumbuh karo piwulange agami samubarang kang rinekadaya kuwi kudu sinartan nyênyuwun lan tumungkul pasrah maring ngarsane Gusti Kang Murbeng Dumadi. Amêrga sakabehing tumitah kang lumaku ing sak lumahing bumi lan jagad raya kuwi ana ing panguwasaning Gusti. Nanging kosokwaline uga kita ora kêna lumuhing gawe lirwa ing pambudidaya, banjur hamung mligi ndêdonga nuli pasrah bongkokan maring Gusti."

Adalah Pak Sulam, lelaki yang telah berumur menjelang 60 tahun namun masih nampak segar bugar dan tegap itulah yang menuturkan sebarisan kalimat dalam bahasa jawa di atas. Kalimat yang bermuatan doa, nasihat dan pengingat pada acara anjangsana yang dihelat di pendapa -begitulah kita menyebutnya- yang berada di samping rumahnya petang itu.

Pendapanya, adalah sebuah bangunan sederhana yang tidak terlalu luas dan dibiarkan terbuka tanpa dinding. Tiang-tiangnya, ditilik dari wujud dan rupa penampakannya, dibuat dari glugu bogor klapa atau pohon kelapa tua yang diserut halus dan diwarnai dengan politur. Demikian pula bandar, usuk dan reng-nya pun dibuat dan diwarnai dengan jenis dan bahan yang sama.
Adapun atapnya ada sedikit sentuhan kekinian dengan memasang lembaran genteng pelat berwarna hijau tua yang permukaannya semacam berpasir agar berisiknya suara air yang jatuh ketika hujan turun bisa sedikit teredam.
Lalu lantai berwarna putih kekuningan dari papan kayu jati belanda -nama keren dari kayu bekas pallet- yang juga ber-politur itu sengaja ditinggikan sekira satu meteran dari permukaan tanah. Sebuah ketinggian yang cukup jika hanya untuk menghindari tampiasan atau percikan balik dari air hujan yang jatuh ke tanah. Dan memang hanya itulah keperluannya karena kampung dimana Pak Sulam tinggal, jauh dari Jakarta dan bukan daerah banjir pula.

Petang itu suasananya dibuat agak berbeda. Jarak antara yang hadir tidak terlalu berdekatan sebagaimana biasanya. Merujuk pada kata-kata yang lagi populer saat ini mungkin bisa dimasukkan sebagai Social atau Physical Distancing (meski masih kumpul-kumpul heheh). Pak Sulam atau Pakdhe -nama yang lebih populernya- memang menganjurkan agar menjaga jarak antara satu dengan yang lainnya karena mengingat situasi dan kondisi hari-hari belakangan ini yang tidak menguntungkan. Ya, karena mewabahnya virus Covid-19 itulah yang membuatnya demikian.

Memang kita perlu berlaku lebih hati-hati dan waspada karena yang demikian pun -salah satunya menjaga jarak ini- merupakan bentuk dari sebuah ikhtiar yang bisa dilakukan ketika kita sudah terlanjur berada pada suatu tempat dimana ada banyak orang disana.
Namun apapun keadaannya petang itu masih tidak terlalu mengurangi kêgayêngan acara rutin selapanan pêndhak kemis wage di rumah Pakdhe (hanya memang butuh lebih banyak asbak aja sih untuk masing-masing yang merokok heheh.) Dan acara yang memang biasanya ngêbyar sampai pagipun tetap berjalan.

Tentang Pakdhe, di kampung itu ia termasuk salah satu sesepuh yang disegani. Sosok yang dikenal cukup berwawasan dan berpengetahuan serta berperilaku keseharian yang baik. Pendeknya, ia punya ketauladanan yang cukup.
Sosok inipun tidak pernah merasa jemu untuk ikut ambil bagian dalam upaya menjaga kerukunaan dalam masyarakat, kebersamaan dan kedamaian, yang tentu saja dalam lingkup dan batas kemampuannya.
Ketika ribut-ribut pada beberapa pemilu yang lalu-lalu itu, beliau berusaha sekuat tenaga untuk menjadi sosok penengah dimana melalui petuah-petuahnya -meski tidak dalam lingkup yang luas- bisa mendinginkan suasana yang tendensinya makin memanas kala itu.

Lebih lanjut tentangnya, upaya-upaya yang telah dilakukannya -yang lebih banyak berbasis pada budaya- selama ini bagai bersesuaian saja dengan namanya. Ia bagaikan seorang penyulam yang berusaha membuat kain, tenunan atau pakaian menjadi nampak semakin indah. Kalau meminjam istilah yang sempat dipopulerkan oleh Bang Anies, "Tenun Kebangsaan", maka sedikit banyak ia telah berkontribusi untuk menuju kesana. Namun belakangan ini, seiring tersedianya internet cepat dan jaringan luas, yang memunculkan 'ancaman' dahsyat melalui media sosial yang masuk hingga ke ruang-ruang privat semua orang, tak ayal telah memaksanya berperan pula sebagai penjahit yang menambal atau menyambungkan kain atau tenunan yang beberapa bagiannya telah robek. Betapa fenomena media sosial dengan segala hiruk pikuk yang ada di dalamnya itu memang telah banyak membuat orang merasa jengah dan prihatin. Turut menyesalkan mengapa bisa ada sebegitu banyaknya orang yang menggunakan media sosial secara kebablasan. Dan itulah memang keadaannya saat ini.

Tentang pertemuan petang itu, yang sedianya bertajuk cerita wayang kulit dengan lakon "Abimanyu dan Wahyu Keraton (Kepemimpinan)", akhirnya harus berganti dengan bahasan yang lagi hangat, yakni terjadinya serangan atau wabah virus corona atau Covid-19. Memang sih bukan bahasan yang rumit-teknis tentang virusnya serta penanganannya, atau tentang polemik respon pemerintah yang menjadi arena debat di sana-sini, atau bermunculannya para pencari panggung -demikian beberapa orang menyebutnya-,  namun lebih pada sisi rentan dan lemahnya posisi kita sebagai orang-orang yang terdampak.
Kita, baik sebagai individu maupun negara senyatanya bisa sangat kewalahan ketika berjangkitnya suatu wabah seperti saat ini. Barangkali sudah nasib menjadi bagian dari kelompok masyarakat/bangsa/negara berkembang, yang acapkali ketinggalan begitu banyak langkah dari negara-negara yang sudah maju. Adalah nasib pula bahwa kita tidak/belum bisa memiliki fasilitas serta lembaga lit-bamg yang kredibel sehingga kita tidak terlalu bergantung dengan negara/bangsa lain. Kita telah kehabisan banyak waktu -disamping pula biaya- yang terserap untuk 'hal-hal lain'. Jika hal-hal lain yang dimaksud itu masih menyangkut kebutuhan dasar hajat hidup masyarakat banyak, ya apa boleh buat. Tapi amat disayangkan jika hal lain yang menyerap waktu dan biaya itu sesuatu yang bisa agak dikesampingkan terlebih dahulu agar kita bisa cepat keluar dari zona 'keterbelakangan' ini. Urusan politik praktis dengan segala tetek bengeknya yang nyatanya berbiaya sangat tinggi -yang tak jarang bersifat transaksional- dan sering menimbulkan problem ikutan itu salah satunya.

"Memang bukan dikesampingkan total karena tentu tidak mungkin, tetapi barangkali perlu adanya modifikasi yang signifikan agar tidak terlalu mubra-mubru, muspra tanpa guna". Demikian Pakdhe meneruskan kata-katanya. (Ah kata-kata terakhirnya dalam bahasa jawa yang berarti sia-sia itu sering pula digunakan almarhumah ibunda saya).

Ketertinggalan yang terus menghantui ini telah menjadikan kita tidak bisa sepenuhnya menjadi subyek yang berdaulat kuat. Kita bahkan laksana obyek yang sewaktu-waktu bisa menjadi alat permainan atau obyek penderita dari orang/masyarakat/negara adidaya saja. Kita bagaikan perangkat komputer yang terima nasib ketika hantaman virus menyerang sistim di dalamnya. Kita tidak punya sistim pertahanan yang cukup untuk menangkalnya. Penjinak atau anti virusnya pun harus kita dapatkan dengan merogoh kocek terlebih dahulu.

Harapan untuk berangsur menjadi negara maju, menjadi subyek yang diperhitungkan di kancah dunia kadang bagaikan mimpi di siang bolong manakala orang-orang cerdik pandai di negeri ini yang diharapkan sesegera mungkin membawa perubahan malah sibuk baku hantam membela kepentingannya masing-masing. Kerja utuh sebagai satu kesatuan bangsa itu seolah jauh panggang dari api. Ibarat membangun rumah, setelah sekian lama waktu yang terlewati inipun bentuk sempurnanya sebuah bangunan tidak kunjung nampak. Terlalu banyak ide dan keinginan dari yang ringan semisal pilihan warna cat sampai yang kelas berat semisal merubah pondasi, yang gegontokan-nya itu akhirnya berujung pada kemandegan -kalau terlalu kasar untuk mengatakan kemangkrakan- yang mengenaskan. Belum lagi masalah korupsi yang masih terus saja meliliti dalam setiap gerak langkah negeri kita. Harapanpun seolah ambyar sudah.

"Ada satu hal yang membuat kita tidak boleh berputus asa, yaitu perintah atau larangan dalam agama. Karena sifat itu bukanlah milik orang-orang yang beriman. Telah banyak disebut dalam ayat-ayat Qur'an yang nanti kalian bisa lihat, baca dan renungi sendiri-sendiri". 

Setelah berhenti sejenak, Pakdhe melanjutkan;
"Nah, dalam konteks keadaan kita dan negeri kita yang sedemikian ini, pandemi corona yang sedang meraja-lela ini, mudah-mudahan menjadi pemicu kesadaran kita semua untuk menghentikan hal-hal yang bersifat merusak apapun itu bentuknya, bahkan menghentikan hal-hal yang kurang perlu, hal-hal yang tak ada urgensinya sama sekali lalu beralih atau kembali pada watak dasar budaya kita sebagai bangsa yang lebih mengedepankan kegotong-royongan, kerja bahu membahu saling membantu demi bangsa dan negara. Berusaha secara maksimal dari apa yang bisa kita lakukan mulai dari diri sendiri meskipun itu hal yang kecil".  

Terkait dengan dugaan adanya konspirasi jahat di balik pandemi corona yang telah berpengaruh multi dimensi pada hampir semua negara, Pakdhe tidak banyak berkomentar. Hanya saja kejadian ini telah memberi gambaran yang cukup bahwa terjadinya kerusakan besar itu tidak melulu dengan meluluh-lantakkan secara fisik dengan persenjataan berat. Senyatanya serbuan mahluk ukuran mikron, mili mikron atau lebih kecil lagi yang tak kasat mata itu jelas-jelas membawa dampak yang luar biasa. Kehancuran yang ditimbulkannya juga tidak kalah dahsyatnya. Perekonomian negara bisa lesu bahkan lumpuh yang menyebabkan kerugian besar secara materiil, lalu ketakutan dan kecemasan massal, orang menjadi terhalang aktifitas normalnya, sulit memenuhi hajat hidupnya adalah kombinasi kerugian materiil dan moril yang besar.
Di titik ini kemajuan pesat ilmu pengetahuan dihadapkan pada sisi kelamnya oleh orang-orang yang kehilangan sifat kemanusiaannya. Benarlah apa kata pepatah "Man behind the gun" itu. Kesemuanya hanyalah alat, orang yang berada di balik alat itulah yang akan menentukan, apakah akan menjadi kemaslahatan atau malah bencana besar.

"Tantangan untuk menjadi subyek penting itu kini kembali kepada kita, terkhusus pada para saintis biologi atau virolog kita (dan para birokrat punggawa negeri sebagai penyedia fasilitas penelitian) untuk meneliti secara mendetil virus corona berikut kemungkinan turunan-turunan yang bisa direkayasa lalu menemukan kontra virusnya agar di kemudian hari kita sudah lebih baik dalam menghadapi situasi sejenis ini yang peluang terjadinya (boleh jadi) masih berkelanjutan".

Di pagi subuh itu Pakdhe mengatakan bahwa acara selapanan berikutnya ditunda dulu sampai keadaan yang lebih baik, lalu beliau menutupnya dengan doa dan pesan seperti yang tertera di awal tulisan.

-------
"Mari Bercerita Saja (4)"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!