Suluh-suluh Kebenaran

Saya percaya pada pendapat yang mengatakan bahwa kebenaran itu akan mampu menemukan jalannya sendiri untuk kemudian menjelma secara terang benderang laksana matahari siang bolong di langit biru tak bermendung di wilayah tropis sekaligus. Meski untuk itu dibutuhkan waktu yang teramat panjang dan silih bergantinya generasi, bahkan.

Masa tunggu yang panjang itu pula adalah keniscayaan, oleh sebab dalam perjalanan sang terang itu selalu ada aral melintang dan awan gelap yang mengiringinya, yang terus mencoba untuk mengaburkan bahkan mengurung menyembunyikannya. Bukankah dalam setiap detak kehidupan ini selalu ada paraga-paraga yang bekerja keras menjalani 'peran' pada posisinya masing-masing?. Tentu kita masih ingat tentang sekeping koin berwajah ganda khan?

Sang gelap, para penghambat dan penentang itu pun berkeras untuk selalu hadir ketika sang suluh penerang bermaksud mengusir kelamnya 'malam kejahilan' dengan cahaya-cahaya petunjuknya yang menerangi. Mereka, agen-agen kegelapan itu tak kalah kuat pula dalam meniupkan angin-angin kencang upaya pemadaman atas suluh-suluh yang tengah menyala dan dinyalakan.

Ada fenomena menarik yang selalu hadir di setiap zaman -tak terkecuali yang berada di sekitar 'Suluh Terbesar Peradaban' yakni Nabi/Rasul- adalah kejahilan yang terkadang berkombinasi dengan egoisme (asobiyah), kejumudan yang akut, merasa benar sendiri dan tidak pernah merasa sedang menderita kesempitan wawasan, defisit informasi dan pengetahuan yang diidap oleh begitu banyak orang.

Pada masa kini, bagaimana orang bisa meyakini bahwa sesuatu (pendapat) itu benar hanya karena banyaknya orang yang berpendapat sama, merasa mantab atas pilihannya itu oleh karena kemayoritasannya. Bagaimana pula orang gampang terpukau, takjub pada kegegap-gempitaan dan "keras-lantang"nya suara tokoh. Lantas berhenti menggunakan akal pikirannya untuk menimbang, menelaah, menguji, sebelum mengambil keputusan yang (boleh jadi) sangat krusial.

Kita bisa saksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana kita yang mestinya ummat yang satu ini bisa terbelah sedemikian rupa, berseteru berebut klaim kebenaran hanya oleh sebab adanya perbedaan pendapat dari para tokoh atau yang ditokohkan.
Semestinya, banyaknya perbedaan tafsir atas keberagamaan yang ada ini memantik kita untuk lebih menggali dan mendalami lagi hal-hal tersebut, bukannya malah berhenti stagnan dan berpuas pada apa yang kita ketahui dan pahami saat ini saja. Karena, sangat boleh jadi kita masih belum berada pada sebuah kebenaran yang hakiki. Bukankah banyaknya varian yang ada ini telah menunjukkan ketidak-mutlakan akan tafsir kebenaran yang kita percayai? Atau dengan kata lain, hanyalah kebenaran nisbi belaka?.

Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk bisa menemukan jalur yang lurus, sirothol mustaqim sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-Fatehah. Menemukan Sang Suluh kebenaran itu dengan segala upaya yang kita mampu yang tentu saja tetap dibarengi dengan munajat yang tak berkesudahan pada Yang Maha Kuasa agar terbimbing dalam pencarian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!